Tuesday, July 24, 2018

Penyakit TB Paru Dan Data Kasus


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Astusi dan Angga (2010:127), menyatakan tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Menurut Suharyo (dalam WHO, 2013) menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi pengobatan ini disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short CourseChemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28%. Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA positif sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Indonesia menempati urutan ke tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per 100.000 penduduk di tahun 2012.


1
     Menurut Saydam (2011), Penyebab penyakit TBC, karena penderita diserang atau dihinggapi oleh basil-basil atau bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakeri ini sangan bebas menyebar terhadap orang-orang yang mempunyai daya tahan tubuh lemah. Penyakit TBC berbeda dengan penyakit pneumia (radang paru-paru) sebab bakteri penyebabnya berbeda. Organ yang diserang bakteri TBC dapat bervariasi, namun 90 persen memang menyerang paru-paru. Sedangkan pada pneumonia yang diserang selalu organ paru-paru. Tetapi TBC dan pneumonia prosesnya memang sama yaitu berupa infeksi paru-paru.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit TB Paru?
2.Bagaimana penyebaran, penanggulangan, yang terkait dengan penyakit TB Paru?
C. Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui Penyakit TB Paru.
2.      Untuk mengetahui cara penyebaran, penanggulangan, yan terkait dengan penyakit TB Paru.
D. Manfaat Penelitian
1.        Secara Teoritis
Untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai  penyakit TB paru dan ruang lingkup yang berhubungan dengan penyakit TB Paru.
2.        Secara Praktis
Penulis mengharapkan dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi:
a.    Bagi Penulis : Dapat mengetahui mengenai penyakit TB Paru dan dapat belajar menyelesaikan tugas makalah dengan baik.
b.    Bagi Pembaca : Dapat memberikan wawasan mengenai penyakit TB Paru agar  lebih hati-hati ketika berhadapan dengan lingkungan sekitar.
c.    Bagi Pelayanan Kesehatan : Dapat memberikan wawasan penyakit TB Paru agar pelayanan bisa lebih baik.
E. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian penulis menggunakan telusur pustaka mengenai penyakit TB Paru.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Awal Mula Penyakit TB Paru
Penyakit TBC sudah ada dalam kehidupan manusia sejak zaman kuno. Deteksi paling awal “M. tuberculosis” terdapat pada bukti adanya penyakit tersebut di dalam bangkai bison yang berasal dari sekitar 17.000 tahun lalu. Tetapi, belum ada kepastian apakah itu tuberkulosis berasal dari sapi (bovin), yang kemudian ditularkan ke manusia, atau apakah tuberkulosis tersebut bercabang dari nenek moyang yang sama. Para ilmuan yakin bahwa manusia terkena MTBC dari binatang selama proses penjinakan. Tetapi, gen “Micobacterium tuberculosis” complex (MTbC) pada manusia telah dibandingkan dengan MTbC pada binatang, dan teoritersebut telah terbukti salah.
Galur bakteri tuberkulosis mempunyai nenek moyang yang sama, yang sebetulnya dapat menginfeksi manusia sejak Revolusi Neolitik. Sisa kerangka menunjukkan bahwa manusia prasejarah (4000 Sebelum Masehi) mengidap TBC. Para peneliti menemukan pembusukan tuberkulosis di dalam tulang spina mumi-mumi Mesir dari tahun 3000-2400 SM. “Phtisis” berasal dari bahasa Yunani yang artinya “konsumsi,” yaitu istilah kuno untuk tuberkulosis paru. Sekira 460 SM, Hippocrates mengidentifikasi bahwa phthisis adalah penyakit yang paling mudah menular ketika itu. Orang dengan phthisis mengalami demam dan batuk darah. Phthisis hampir selalu berakibat fatal. Penelitian gen menunjukan bahwa TB telah ada di Amerika dari sekitar tahun  100 AD.


3
Di Eropa, angka tuberkulosis mulai meningkat pada awal 1600-an. Angka kasus TB mencapai puncak tertingginya di Eropa pada 1800-an ketika penyakit ini menyebabkan hampir 25% dari keseluruhan kasus kematian. Angka kematian kemudian menurun hingga hampir mencapai 90% pada 1950-an. Peningkatan kesehatan masyarakat secara signifikan mengurangi angka tuberkulosis bahkan sebelum streptomisin dan antibiotik lainnya digunakan. Namun, penyakit tersebut masih merupakan ancaman yang serius bagi kesehatan masyarakat. Ketika Konsil Penelitian Medis dibentuk di Inggris pada 1913, fokus awalnya adalah penelitian tuberkulosis.
Tuberkulosis menimbulkan kekhawatiran masyarakat pada abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 sebagai penyakit endemik masyarakat miskin di perkotaan. Pada 1815, satu di antara empat kematian di Inggris disebabkan oleh “konsumsi.” Pada 1918, satu di antara enam kematian di Perancis disebabkan oleh TB. Setelah para ilmuwan menetapkan bahwa penyakit tersebut menular pada 1880-an, TB dimasukkan ke penyakit wajib lapor di Inggris. Kampanye dimulai agar orang-orang berhenti meludah di tempat umum dan orang miskin yang terinfeksi penyakit tersebut ‘didorong’ untuk masuk sanatorium yang menyerupai rumah tahanan. (Sanatorium untuk kelas menengah ke atas menawarkan perawatan yang luar biasa dan pemeriksaan medis terus-menerus.) Sanatorium tersebut seharusnya memberi manfaat “udara bersih” dan pekerjaan. Namun bahkan dalam kondisi terbaik, 50% pasien di dalamnya meninggal setelah lima tahun (“ca.” 1916).
Jenis TB paru yang dikaitkan dengan tuberkel ditetapkan sebagai patologi oleh Dr Richard Morton pada 1689. Namun, TB memiliki berbagai gejala, sehingga TB tidak diidentifikasi sebagai satu jenis penyakit hingga akhir 1820-an. TB belum dinamakan tuberkulosis hingga 1839 oleh J. L. Schönlein. Selama tahun 1838–1845, Dr. John Croghan, pemilik Gua Mammoth, membawa mereka yang terkena TB ke dalam gua dengan harapan menyembuhkan penyakit tersebut dengan suhu konstan dan kemurnian udara di dalam gua: mereka meninggal setelah satu tahun di dalam gua. Hermann Brehmer membuka sanatorium pertama pada 1859 di Sokołowsko, Polandia.
Albert Calmette dan Camille Guérin menerima kesuksesan pertama dalam imunisasi anti tuberkulosis pada 1906. Mereka menggunakan tuberkulosis galur bovin di-atenuasi, dan vaksin tersebut dinamakan BCG (basil Calmette dan Guérin). Vaksin BCG pertama kali digunakan pada manusia pada 1921 di Perancis. Namun, vaksin BCG baru diterima secara luas di AS, Inggris, dan Jerman setelah Perang Dunia II.
Pada 1946, pengembangan antibiotik streptomisin mewujudkan pengobatan dan penyembuhan efektif untuk TB. Sebelum obat tbc ini diperkenalkan, pengobatan satu-satunya (kecuali sanatorium) adalah intervensi bedah. “Teknik pneumotoraks” membuat paru-paru yang terinfeksi kolaps dan memberikan “jeda” sehingga lesi akibat tuberkulosis mulai sembuh. Kemunculan MDR-TB kembali menjadikan pembedahan sebagai opsi dalam standar tatalaksana untuk perawatan infeksi TB. Intervensi bedah saat ini meliputi pengangkatan kavitas (“bula”) patologis di dalam paru-paru untuk mengurangi jumlah bakteri dan meningkatkan pajanan obat bagi bakteri yang masih ada di dalam aliran darah. Intervensi ini secara bersamaan mengurangi jumlah bakteri total dan meningkatkan efektifitas terapi antibiotik sistemik. Meskipun para ahli mengharapkan agar TB dapat diberantas sepenuhnya (bandingkan cacar), munculnya galur resistensi obat pada 1980-an membuat pemberantasan TB menjadi sulit. Kemunculan kembali tuberkulosis mendorong deklarasi emergensi kesehatan global yang dibuat oleh WHO pada 1993.
Dr. Robert Koch menemukan basil tuberkulosis. Basilus yang menyebabkan tuberkulosis, “Mycobacterium tuberculosis,” diidentifikasi dan dijelaskan pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Dia menerima Hadiah Nobel bidang fisiologi atau kedokteran pada 1905 atas penemuan ini. Koch tidak percaya bahwa penyakit tuberkulosis pada sapi (ternak) dan manusia adalah penyakit yang serupa. Keyakinan ini menunda pengakuan bahwa susu yang terinfeksi menjadi sumber infeksi. Kemudian, risiko penularan dari sumber ini sangat jauh berkurang karena penemuan proses pasteurisasi. Koch mengumumkan ekstrak gliserin dari basil tuberkulosis sebagai “obat” untuk tuberkulosis pada 1890. Dia menamakannya “tuberkulin.” Meskipun “tuberkulin” tidak efektif, tuberkulin diadaptasi sebagai tes penapisan untuk mengetahui adanya tuberkulosis prasimtomatik.
Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat seringkali menghubungkan tuberkulosis dengan vampir. Jika seorang anggota keluarga meninggal karena TB, kesehatan anggota keluarga lainnya dari orang yang terinfeksi tersebut perlahan-lahan menurun. Masyarakat percaya bahwa orang pertama yang terkena TB menguras jiwa anggota keluarga lainnya.


B.       Penyakit TB Paru
1.    Pengertian Penyakit TB Paru
Astusi dan Angga (2010:127), Tuberculosis paru adalah suatu penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis biasanya secara inhalasi atau ketika udara masuk ke paru-paru sebab bakteri bersatu dengan udara sehingga penyebaran bakteri sangat mudah menular, apalagi ketika daya tahan tubuh seseorang sedang menurun maka akan lebih mudah terinfeksi bakteri ini.
2.    Faktor penyebab penularan penyakit TB Paru
Menurut Rahmaniati (2012), menyatakan bahwa penularan TB paru disebabkan beberapa faktor :
a.     Pengetahuan Penderita
Tidak sedikit penderita penyakit TB Paru tidak mengetahui penyakit tersebut, sehingga penderita tidak waspada terhadap penyakit yang dideritanya. Ini akan menyebabkan sangat mudah penyebaran penyakit TB Paru karena tidak melakukan pencegahan.
b.    Berdasarkan usia
Usia bayi kemungkinan besar terinfeksi bakteri TB Paru, karena daya tahan tubuh bayi masih kurang. Oleh sebab itu, Bagi masyarakat harus meningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan dengan salah satu cara mengikuti vaksinasi BCG pada saat masih bayi yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan agar tercipta sistem kekebalan tubuh yang optimal.
Selain bayi, TB Paru bisa terjadi mada pasa puber dan remaja. Hal ini disebabkan karena masa pertumbuhan cepat namun asupan nutrisi tidak baik, sehingga mudah terinfeksi bakteri.
Kemungkinan bisa terjadi pada usia dewasa, yang disebabkan karena pola hidup sehat yang tidak baik.
c.     Berdasarkan Pendidikan
            Sebentar atau lama pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menangani penyakit TB Paru, penularan, gejala-gejala, pencegahan, dan pengobatan. Orang yang berpendidikan mempunyai banyak informasi terkait penyakit ini maka memungkinkan akan lebih waspada dalah menghadapi penyakit.
d.    Kondisi Fisik Rumah
Rumah dikatakan sehat apabila secara  umum memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan, dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang menganggu.Keadaan lain yang dapat menyebabkan penyebaran TB Paru karena kurangnya ventilasi rumah. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya udarasegar yang masuk ke dalam rumah.
e.     Sinar Matahari
Sinar matahari yang langsung masuk ke dalam rumah dapat membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis, jika keadaan rumah yang tidak sesuai dengan ketentuan maka penyebaran bakteri ini sangat mudah dan cepat.
3.    Gejala-gejala
Masa Inkubasi untuk penyakit TBC biasanya adalah 4 - 6 minggu dengan tanda, yaitu pucat, lemah, badan kurus, tidak memiliki semangat aktivitas, berkeringat, batuk - batuk berdahak campur darah, dan suhu tubuh tinggi.
Menurut Saydam (2011:97), Gejala-gejala orang yang terkena serangan bakteri TBC umumnya batuk kronis, demam dan berkeringat di waktu malam. Disamping itu, terjadi keluhan dalam pernapasan, badan selalu terasa letih, lesu serta rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir yang kadang-kadang bercampur dengan darah. Batuk penderita bisa sampai 3 minggu atau lebih. Pada tahap lanjut, dapat juga dijumpai dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas. Berat badan menurun, rasa demam meriang. Meskipun demikian belum tentu setiap orang yang batuknya berdarah menderita TBC, bisa saja batuk berdarah disebabkan oleh berbagai macam hal seperti karena penyakit paru-paru, adanya perdarahan di daerah hidung bagian belakang yang tertekan pada saat batuk keluar dari mulut. Bisa pula karena batuk terlalu keras sehingga menyebabkan lukanya saluran napas dan mengeluarkan darah. Bakteri TBC yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang biak, lama terkumpulnya bakteri sampai menimbulkan penyakit dapat berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun.
Dengan demikian penyakit TBC bukanlah diwariskan dan bukanlah penyakit turunan (genetik). Namun karena penularannya melalui percikan dahak di udara yang mengandung kuman TBC, maka orang yang hidup dengan penderita disinyalir terjangkit juga jenis penyakit TBC ini. Penderita TBC, biasanya memiliki status gizi yang kurang baik, sehingga hal ini dapat mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan bagi wanita hamil. Oleh karena itu, ibu hamil perlu diberi terapi TBC yang diminum dengan dosis efektif paling rendah.
Menurut Helper (2010) dalam kutipan Antoni Lamini (2002) ada 2 gejala TB paru yaitu : gejala umum dan gejala khusus.
Gejala umum secara klinis mempunyai gejala sbb :
a.       batuk selama lebih dari 3 minggu,
b.      demam,
c.       berat badan menurun tanpa sebab,
d.      berkeringat pada waktu malam,
e.       mudah capai,
f.       hilangnya nafsu makan.
Sedangkan Gejala khusus dapat digambarkan sebagai berikut :
a.       tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
b.      akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak, kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada,
c.       bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah,
d.      pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak dan disebut sebagai menginitis  (radang selaput otak), gejala adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejangkejang.
Disamping itu, masih banyak faktor yang mempengaruhi pemberantasan TB paru antara lain sikap petugas kesehatan dalam menangani pasien, ketersediaan obat dan faktor penderitanya sendiri.
Berkaitan dengan apa yang di uraikan diatas, 53, 83 % program penanggulangan TB paru disebabkan oleh :
a.         Penderita TB menganggap sakit batuk biasa, sehingga tidak segera berobat ke Puskesmas,
b.         Puskesmas belum dipercaya oleh masyarakat, dan obat yang diberikan oleh puskesmas masih di anggap tidak manjur,
c.         Kinerja puskesmas belum optimal dalam upaya penanggulangan tuberculosis,
d.        Masih banyak praktek pengobatan yang belum menggunakan strategi DOTS,
e.         Kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan dana sangat terbatas.

4.    Pencegahan
Untuk menghindari dari infeksi bakteri TBC tentu harus diawali dengan cara pola hidup sehat dan teratur, karena seseorang tidak tau kapan akan terserang oleh bakteri TBC. Dengan teratur dan pola hidup sehat diharapkan daya tahan tubuh bisa memberikan perlindungan terhadap berbagai macam penyakit. Oleh sebab itu, orang yang sehat mskipun diserang bakteri TBC tidak akan mempan sebab sudah terbentuk sistem kekebalan tubuh yang optimal. Pola hidup yang teratur dan sehat tentu saja disiapkan sejak dini, biasanya selalu mengonsumsi makanan bergizi dan berserat serta selalu memelihara kebersihan badan dan makanan serta lingkungan. Tempat tinggalnya harus selalu terkena sinar matahari. Selain itu, bisa juga dengan cara berhati-hati ketika mendekati orang yang menderita penyakit TB Paru dan selalu menggunaan masker. (Saydam, 2011:98)



Pencegahan dapat dilakukan menjadi 3 bagian :
a. Pencegahan Primer
            Pencegahan yang mencakup peningkatan kesehatan dengan melakukan tidak kontak dengan pembawa penyakit. Contoh dalam penyakit TP Paru adalah pencegahan dengan menggunakan masker, cuci tangan dengan bersih, dan lain sebagainya.
b. Pencegahan Sekunder
            Pencegahan ini merujuk pada deteksi dini ketika sudah terjangkit penyakit oleh ahli medis. Contoh dengan melakukan pemeriksaan agar terjadi pemulihan.
c. Pencegahan Tersier
            Pencegahan tersier adalah pencegahan yang dilakukan ketika sudah terjangkit penyakit yang kronis, maka pencegahan ini dilakukan dengan cara pemulihan atau rehabilitatif.
Salah satu pencegahan yang dilakukan oleh petugas kesehatan adalah dengan metode penyuluhan artinya petugas kesehatan memberikan pengertian atau informasi terkait penyakit yang akan dibahas dengan harapan dapat meningkatkan kwalitas kesehatan di masyarakat demi terciptanya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dengan memperhatikan beberapa hal yang penting
a.             petugas baik dimasa persiapan atau juga waktu yang selanjutnya secara berkala harus memberikan suatu penyuluhan pada masyarakat secara luas lewat tatap muka, lewat ceramah dan juga media massa yang tersedia pada wilayahnya, dan juga memberikan suatu penyuluhan mengenai pencegahan terhadap peenyakit TB Paru.
b.            Memberikan penyuluhan pada penderita dan keluarga disaat kunjungan rumah danjuga memberikan saran untuk bisa mendapatkan suasana rumah yang sehat.
c.             memberiikan penyuluhan secara per orangan dengan khusus untuk penderita agar melakukan pengobatan secara teratur dan mencegah penyebaran penyakit pada orang lain.
d.            melakukan perubahan pola hidup masyarakat dan juga perbaikan tentang lingkungan demii untuk mencapai masyarakat yang sehat.
e.             sebaiknya menganjurkan masyarakat untuk melapor jika pada beberapa warganya mengaami gejala penyakit TB Paru.
f.             Menghilangkan rasa malu pada penderita TB Paru, karena penyakit TBC bukanlah suatu penyakit yang memalukan.

5.    Pengobatan
Bila masa dulu penyakit TBC amat menakutkan, karena tidak bisa diobati. Namun dewasa ini penyakit TBC sudah bisa diobati sampai sembuh. Penderita penyakit TBC biasanya memiliki status gizi yang kurang baik, serangan bakteri TBC sangat berbahaya karena bakteri ini bisa menyebabkan penyakit menular dengan mudah. Menurut beberapa penelitian pengobatan TBC Paru umumnya terdiri dari dua tingkat yaitu fase terapi intensif dan fase pemeliharaan. Fase terapi intensif dimaksudkan merupakan kombinasi isoniazid, rifampisin dan piruzinamida selama 2 bulan berturut-turut. Sedangkanfase pemeliharaan, dokter menggunakan isozoid bersama rifampisin selama 4 bulan lagi. Memang jangka waktu pengobatan TBC ini memerlukan waktu yang lama, diharapkan agar penderita tidak pernah bosan untuk mengonsumsi obat yang diberikan dokter.Disamping itu, dapat pula digunakan obat untuk penyembuhan alami. Namun semuanya tergantung pada penderita, bilaIa rajin melakukan anjuran pengobatan ini, mungkin penyakit itu akan cepat berakhir. Pola diet dan program pembangunan vitallitas yang menyeluruh secara alami, merupakan salah satu metode untuk mengatasi penyakit ini.Sebagai langkah pertama, penderita sebaiknya diberikandiet eksklusif buah segar selama 3 atau 4 hari. Hendaknya ia harus 3 kali buah-buahan segar seperti apel, anggur, pir, jeruk, nanas, dan melon atau buah0buahan segar lainnya.Setelah diet buah eksklusif, penderita hendaknya mengadopsi pola makan buah dan susu. Untuk diet ini, makanan yang dikonsumsi persis sama dengan buak eksklusif, tapi dengan tambahan susu setiap makan buah. Sementara yang perlu dilakukan selain untuk pemusnahan seluruh sarang infeksi dan bakteri yang sedang tidur untuk menghindari kambuhnya penyakit. Namun faktorterpenting untuk berhasilnya pengobatan searah dengan kesediaan terapi dari penderita untuk secara teratur dan terus menerus minum obat yang diberikan. Dengan demikian bila penderira rajin mematuhi semua peraturan dan ketentuan, diharapkan waktu kesembuhan tidak akan terlalu lama. (Saydam, 2011:99)

B. Data Kasus TB Paru
Menurut Suharyo (dalam WHO, 2013) menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi pengobatan ini disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short Course Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28%. Berdasarkan Global Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA positif sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus. Kematian akibat TB sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Indonesia menempati urutan ke tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per 100.000 penduduk di tahun 2012.
Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi.
Menurut Kemenkes 2011, melakukan kegiatan STARNAS (Strategi Nasional) Tahun 2010-2014 dengan metode DOTS (Directly Observed Treatment Short Course Chemotherapy).
Strategi ekspansi dilakukan dengan prinsip pelayanan DOTS yang bermutu dengan menerapkan lima komponen dalam strategi DOTS (yaitu komitmen politis, pemeriksaan mikroskopis, penyediaan OAT, tersedianya PMO serta pencatatan dan pelaporan) secara bermutu. Selain penerapan DOTS secara bermutu, pelayanan DOTS akan diperluas bagi seluruh pasien TB, tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, karakteristik demografi, wilayah geografi dan kondisi klinis. Pelayanan DOTS yang bermutu tinggi bagi kelompok-kelompok yang rentan (misalnya anak, daerah kumuh perkotaan, wanita, masyarakat miskin dan tidak tercakup asuransi) menjadi prioritas tinggi.
Tujuan program agar terlaksananya lima komponen dalam pelayanan DOTS secara bermutu bagi seluruh pasien TB tanpa terkecuali, akses masyarakat miskin, rentan dan yang belum terjangkau terhadap pelayanan DOTS terjamin serta upaya peningkatan mutu dalam memberikan pelayanan DOTS yang berkesinambungan.
Adapun program yang akan dikembangkan memperkuat penerapan lima komponen dalam strategi DOTS, dengan fokus prioritas pada proses deteksi dini dan diagnosis yang bermutu, sistem logistik yang efektif untuk menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan, serta pengobatan yang terstandar disertai dengan dukungan yang memadai kepada pasien.
1.      Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui Pemeriksaan Bakteriologis yang Terjamin Mutunya
Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi pemeriksaan laboratorium untuk TB berkembang dengan pesat, deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan sputum mikroskopis tetap merupakan kunci utama dalam penemuan kasus TB. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan mutu dan kinerja laboratorium TB mikroskopik, kultur, DST dan pemeriksaan lain untuk menunjang keberhasilan program pengendalian TB nasional. Selain pembentukan dan penguatan jejaring laboratorium mikroskopis TB, kultur dan uji kepekaan Mycobacterium Tuberculosis, aspek mutu dalam pelayanan laboratorium ini dikembangkan melalui pelaksanaan pemeriksaan laboratorium TB yang aman bagi petugas, pasien dan lingkungan, mutu fasilitas laboratorium dan tenaga yang terlatih khususnya di daerah yang melayani masyarakat miskin, rentan (termasuk anak) dan belum terjangkau serta penjaminan mutu melalui quality assurance internal dan eksternal seluruh fasilitas laboratorium dan upaya peningkatan mutu berkelanjutan yang tersertifikasi/akreditasi. Validasi berbagai metode diagnosis baru juga akan dilaksanakan seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi laboratorium untuk TB serta perluasan kegiatan DST di tingkat provinsi. Selain strategi untuk meningkatkan ketersediaan, akses dan akurasi dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis TB secara tepat, diperlukan pula strategi untuk mengurangi keterlambatan diagnosis, baik yang disebabkan oleh faktor pelayanan kesehatan maupun faktor pasien.
Intervensi yang dilakukan mencakup:
         Meningkatkan intensitas penemuan aktif dengan cara skrining pada kelompok rentan tertentu (a.l. HIV, anak kurang gizi, rutan/lapas, daerah kumuh, diabetes dan perokok)
         Memprioritaskan pemeriksaan kontak
         Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan penyedia pelayanan terhadap simtom TB dan pelaksanaan ISTC
         Meningkatkan kepatuhan terhadap alur standar diagnosis
         Melaksanakan upaya meningkatkan kesehatan paru secara komprehensif.

2.      Penyediaan Farmasi dan Alat Kesehatan: Sistem Logistik yang Efektif dalam Menjamin Suplai Obat yang Kontinyu
Pencapaian angka keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada efektivitas sistem logistik dalam menjamin ketersediaan obat (untuk obat lini pertama dan kedua) dan logistik non-obat secara kontinyu.
Berbagai intervensi yang dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem logistik dalam program pengendalian TB mencakup:
         Memfasilitasi perusahaan obat lokal dalam proses pra-kualifikasi (white listing)
         Memastikan ketersediaan obat dan logistik non-OAT (Reagen, peralatan dan suplai laboratorium) yang kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas yang melayani masyarakat miskin dan rentan
         Menjamin sistem penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan efisien, termasuk kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain
         Menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang sesuai kebutuhan
         Menjamin terlaksananya sistem informasi manajemen untuk obat TB (termasuk sistem alert elektronik dan laporan pemakaian dan stok OAT),

3.    Memberikan Pengobatan Sesuai Standar dengan Pengawasan dan Dukungan yang Memadai terhadap Pasien
Agar mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi, pengobatan pasien TB membutuhkan penggunaan obat TB secara rasional oleh tenaga kesehatan dan dukungan yang memadai dari berbagai pihak terhadap pasien TB dan pengawas minum obat (PMO).
Setiap fasilitas pelayanan harus melaksanakan pendekatan pelayanan yang berfokus pada pasien (patient-centered approach) sebagai berikut:
         Memberikan informasi mengenai pilihan fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan pengobatan TB dan implikasinya bagi pasien dengan tujuan meminimalkan opportunity costs dan memperhatikan hak-hak pasien
         Menjamin setiap pasien TB memiliki PMO
         Mengoptimalkan pelaksanaan edukasi bagi pasien dan PMO
         Mempermudah akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang telah tersedia (seperti Puskesmas, Balai Kesehatan Paru Masyarakat, rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya)
         Mengembangkan pendekatan pelayanan DOTS berbasis komunitas



BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
            Akibat dari penyebaran penyakit TB Paru yang sangat mudah dan cepat dimasyarakat akan meningkatkan angka kesakitan yang tidak terkendali. Hal ini diperlukan strategi untuk penanggulangan penyakit TB paru. Salah satu cara penanggulangan adalah dengan menggunakan metode DOTS yang memiliki lima komponen (komitmen politis, pemeriksaan mikroskopis, penyediaan OAT, tersedianya PMO serta pencatatan dan pelaporan) dan dengan melakukan tiga program untuk memperkuat ke lima komponen,
1.      Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui Pemeriksaan Bakteriologis yang Terjamin Mutunya.
2.      Penyediaan Farmasi dan Alat Kesehatan: Sistem Logistik yang Efektif dalam Menjamin Suplai Obat yang Kontinyu.
3.      Memberikan Pengobatan Sesuai Standar dengan Pengawasan dan Dukungan yang Memadai terhadap Pasien
Sejak Tahun 1993, WHO menytakan strategi DOTS yang dianggap efektif dalam penanganan masalah TB. Hingga masuk ke indonesia pada tahun 1986.
B.       Saran
            Saya memberikan saran khususnya terhadap petugas kesehatan agar memberikan penyuluhan terhadap masyarakat luas agar tercipta masyarakat yang sehat dan memiliki pola pikir paradigma sehat. Pentingnya penyuluhan sebab masyarakat memerlukan informasi terkait penyakit TB Paru yang mudah menular. Faktor lain yang menyebabkan harusnya penyuluhan karena masyarakat kurang aktif dalam mencari informasi, maka dari itu petugas kesehatan yang harus bergerak menyampaikan informasi.


16



DAFTAR PUSTAKA
Astusi dan Angga, (2010). Asuhan Keperawatan Anak dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Trans Info Media Jakarta
Suharyo, Determinan Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan.Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013. 9(1):85-91
Saydam, Gouzali (2011). Memahami berbagai penyakit pernapasan dan gangguan pencernaan. Bandung : Alfabeta
Soekano, Soerjono dan Budi Sulistyowati (2017). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Rahmaniati, Martya. Pola Penyebaran Kasus Tuberkulosis Dengan Pendekatan Spasial-Statistik.Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012. hal 5-10
Sedyaningsih, Endang Rahayu. Strategi Nasional Pengendali TB. Jurnal Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011 hal 38-43
Anonimus (2015), Sejarah Pennyakit TBC. Diunduh pada hari sabtu, 14-April-2018 melalui web http://obattbcparu.web.id/sejarah-penyakit-tbc/
Helper, Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB Paru dan penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2010 9(4): 1342-1343

Anonims, cara penularan TBC. Diunduh hari sabtu 14-april-2018 melalui web http://tuberkulosis.org/cara-penularan-tbc/

No comments:

Post a Comment