BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut
Astusi dan Angga (2010:127), menyatakan tuberkulosis paru adalah suatu penyakit
infeksi paru yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.
Menurut Suharyo (dalam WHO, 2013)
menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.
Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Di Indonesia
pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai
rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12 bulan
diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi pengobatan ini disebut
DOTS (Directly
Observed Treatment Short CourseChemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan
perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28%. Berdasarkan Global
Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar
289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC
dengan BTA positif sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus.
Kematian akibat TB sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Indonesia
menempati urutan ke tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina
dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun
2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185
per 100.000 penduduk di tahun 2012.
1
|
Menurut
Saydam (2011), Penyebab penyakit TBC, karena penderita diserang atau dihinggapi
oleh basil-basil atau bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Bakeri ini sangan bebas menyebar terhadap orang-orang yang
mempunyai daya tahan tubuh lemah. Penyakit TBC berbeda dengan penyakit pneumia
(radang paru-paru) sebab bakteri penyebabnya berbeda. Organ yang diserang
bakteri TBC dapat bervariasi, namun 90 persen memang menyerang paru-paru.
Sedangkan pada pneumonia yang diserang selalu organ paru-paru. Tetapi TBC dan
pneumonia prosesnya memang sama yaitu berupa infeksi paru-paru.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu penyakit TB Paru?
2.Bagaimana penyebaran,
penanggulangan, yang terkait dengan penyakit TB Paru?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Penyakit TB Paru.
2. Untuk mengetahui cara penyebaran,
penanggulangan, yan terkait dengan penyakit TB Paru.
D. Manfaat Penelitian
1.
Secara
Teoritis
Untuk menambah ilmu pengetahuan
mengenai penyakit TB paru dan ruang
lingkup yang berhubungan dengan penyakit TB Paru.
2.
Secara
Praktis
Penulis
mengharapkan dalam penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi:
a. Bagi
Penulis : Dapat mengetahui mengenai penyakit TB Paru dan dapat belajar menyelesaikan tugas
makalah dengan baik.
b. Bagi Pembaca : Dapat memberikan
wawasan mengenai penyakit TB Paru agar
lebih hati-hati ketika berhadapan dengan lingkungan sekitar.
c. Bagi Pelayanan Kesehatan : Dapat
memberikan wawasan penyakit TB Paru agar pelayanan bisa lebih baik.
E. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian penulis
menggunakan telusur pustaka mengenai penyakit TB Paru.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal
Mula Penyakit TB Paru
Penyakit TBC sudah ada dalam kehidupan manusia sejak
zaman kuno. Deteksi paling awal “M. tuberculosis” terdapat pada bukti adanya
penyakit tersebut di dalam bangkai bison yang berasal dari sekitar 17.000 tahun
lalu. Tetapi, belum ada kepastian apakah itu tuberkulosis berasal dari sapi
(bovin), yang kemudian ditularkan ke manusia, atau apakah tuberkulosis tersebut
bercabang dari nenek moyang yang sama. Para ilmuan yakin bahwa manusia terkena
MTBC dari binatang selama proses penjinakan. Tetapi, gen “Micobacterium
tuberculosis” complex (MTbC) pada manusia telah dibandingkan dengan MTbC pada
binatang, dan teoritersebut telah terbukti salah.
Galur bakteri tuberkulosis mempunyai nenek moyang
yang sama, yang sebetulnya dapat menginfeksi manusia sejak Revolusi Neolitik.
Sisa kerangka menunjukkan bahwa manusia prasejarah (4000 Sebelum Masehi)
mengidap TBC. Para peneliti menemukan pembusukan tuberkulosis di dalam tulang
spina mumi-mumi Mesir dari tahun 3000-2400 SM. “Phtisis” berasal dari bahasa
Yunani yang artinya “konsumsi,” yaitu istilah kuno untuk tuberkulosis paru.
Sekira 460 SM, Hippocrates mengidentifikasi bahwa phthisis adalah penyakit yang
paling mudah menular ketika itu. Orang dengan phthisis mengalami demam dan
batuk darah. Phthisis hampir selalu berakibat fatal. Penelitian gen menunjukan
bahwa TB telah ada di Amerika dari sekitar tahun 100 AD.
3
|
Tuberkulosis menimbulkan kekhawatiran masyarakat pada abad
ke-19 dan pada awal abad ke-20 sebagai penyakit endemik masyarakat miskin di
perkotaan. Pada 1815, satu di antara empat kematian di Inggris disebabkan oleh
“konsumsi.” Pada 1918, satu di antara enam kematian di Perancis disebabkan oleh
TB. Setelah para ilmuwan menetapkan bahwa penyakit tersebut menular pada
1880-an, TB dimasukkan ke penyakit wajib lapor di Inggris. Kampanye dimulai
agar orang-orang berhenti meludah di tempat umum dan orang miskin yang
terinfeksi penyakit tersebut ‘didorong’ untuk masuk sanatorium yang menyerupai
rumah tahanan. (Sanatorium untuk kelas menengah ke atas menawarkan perawatan
yang luar biasa dan pemeriksaan medis terus-menerus.) Sanatorium tersebut
seharusnya memberi manfaat “udara bersih” dan pekerjaan. Namun bahkan dalam
kondisi terbaik, 50% pasien di dalamnya meninggal setelah lima tahun (“ca.”
1916).
Jenis TB paru yang dikaitkan dengan tuberkel ditetapkan
sebagai patologi oleh Dr Richard Morton pada 1689. Namun, TB memiliki berbagai
gejala, sehingga TB tidak diidentifikasi sebagai satu jenis penyakit hingga
akhir 1820-an. TB belum dinamakan tuberkulosis hingga 1839 oleh J. L.
Schönlein. Selama tahun 1838–1845, Dr. John Croghan, pemilik Gua Mammoth,
membawa mereka yang terkena TB ke dalam gua dengan harapan menyembuhkan
penyakit tersebut dengan suhu konstan dan kemurnian udara di dalam gua: mereka
meninggal setelah satu tahun di dalam gua. Hermann Brehmer membuka sanatorium
pertama pada 1859 di Sokołowsko, Polandia.
Albert Calmette dan Camille Guérin menerima kesuksesan
pertama dalam imunisasi anti tuberkulosis pada 1906. Mereka menggunakan
tuberkulosis galur bovin di-atenuasi, dan vaksin tersebut dinamakan BCG (basil
Calmette dan Guérin). Vaksin BCG pertama kali digunakan pada manusia pada 1921
di Perancis. Namun, vaksin BCG baru diterima secara luas di AS, Inggris, dan
Jerman setelah Perang Dunia II.
Pada 1946,
pengembangan antibiotik streptomisin mewujudkan pengobatan dan penyembuhan
efektif untuk TB. Sebelum obat tbc ini diperkenalkan, pengobatan satu-satunya (kecuali
sanatorium) adalah intervensi bedah. “Teknik pneumotoraks” membuat paru-paru
yang terinfeksi kolaps dan memberikan “jeda” sehingga lesi akibat tuberkulosis
mulai sembuh. Kemunculan MDR-TB kembali menjadikan pembedahan sebagai opsi
dalam standar tatalaksana untuk perawatan infeksi TB. Intervensi bedah saat ini
meliputi pengangkatan kavitas (“bula”) patologis di dalam paru-paru untuk
mengurangi jumlah bakteri dan meningkatkan pajanan obat bagi bakteri yang masih
ada di dalam aliran darah. Intervensi ini secara bersamaan mengurangi jumlah
bakteri total dan meningkatkan efektifitas terapi antibiotik sistemik. Meskipun
para ahli mengharapkan agar TB dapat diberantas sepenuhnya (bandingkan cacar),
munculnya galur resistensi obat pada 1980-an membuat pemberantasan TB menjadi
sulit. Kemunculan kembali tuberkulosis mendorong deklarasi emergensi kesehatan
global yang dibuat oleh WHO pada 1993.
Dr. Robert Koch
menemukan basil tuberkulosis. Basilus yang menyebabkan tuberkulosis,
“Mycobacterium tuberculosis,” diidentifikasi dan dijelaskan pada 24 Maret 1882
oleh Robert Koch. Dia menerima Hadiah Nobel bidang fisiologi atau kedokteran
pada 1905 atas penemuan ini. Koch tidak percaya bahwa penyakit tuberkulosis
pada sapi (ternak) dan manusia adalah penyakit yang serupa. Keyakinan ini
menunda pengakuan bahwa susu yang terinfeksi menjadi sumber infeksi. Kemudian,
risiko penularan dari sumber ini sangat jauh berkurang karena penemuan proses
pasteurisasi. Koch mengumumkan ekstrak gliserin dari basil tuberkulosis sebagai
“obat” untuk tuberkulosis pada 1890. Dia menamakannya “tuberkulin.” Meskipun
“tuberkulin” tidak efektif, tuberkulin diadaptasi sebagai tes penapisan untuk
mengetahui adanya tuberkulosis prasimtomatik.
Sebelum Revolusi Industri, cerita rakyat seringkali
menghubungkan tuberkulosis dengan vampir. Jika seorang anggota keluarga meninggal
karena TB, kesehatan anggota keluarga lainnya dari orang yang terinfeksi
tersebut perlahan-lahan menurun. Masyarakat percaya bahwa orang pertama yang
terkena TB menguras jiwa anggota keluarga lainnya.
B.
Penyakit TB Paru
1. Pengertian Penyakit TB Paru
Astusi
dan Angga (2010:127), Tuberculosis paru adalah suatu penyakit infeksi paru yang
disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.Infeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis
biasanya secara inhalasi atau ketika udara masuk ke paru-paru sebab bakteri
bersatu dengan udara sehingga penyebaran bakteri sangat mudah menular, apalagi
ketika daya tahan tubuh seseorang sedang menurun maka akan lebih mudah terinfeksi
bakteri ini.
2. Faktor penyebab penularan penyakit
TB Paru
Menurut
Rahmaniati (2012), menyatakan bahwa penularan TB paru disebabkan beberapa
faktor :
a.
Pengetahuan
Penderita
Tidak sedikit penderita penyakit TB
Paru tidak mengetahui penyakit tersebut, sehingga penderita tidak waspada
terhadap penyakit yang dideritanya. Ini akan menyebabkan sangat mudah penyebaran
penyakit TB Paru karena tidak melakukan pencegahan.
b.
Berdasarkan
usia
Usia bayi kemungkinan besar
terinfeksi bakteri TB Paru, karena daya tahan tubuh bayi masih kurang. Oleh
sebab itu, Bagi masyarakat harus meningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan
dengan salah satu cara mengikuti vaksinasi BCG pada saat masih bayi yang
dilaksanakan oleh petugas kesehatan agar tercipta sistem kekebalan tubuh yang
optimal.
Selain bayi, TB Paru bisa terjadi
mada pasa puber dan remaja. Hal ini disebabkan karena masa pertumbuhan cepat
namun asupan nutrisi tidak baik, sehingga mudah terinfeksi bakteri.
c.
Berdasarkan
Pendidikan
Sebentar atau lama pendidikan mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam menangani penyakit TB Paru, penularan, gejala-gejala,
pencegahan, dan pengobatan. Orang yang berpendidikan mempunyai banyak informasi
terkait penyakit ini maka memungkinkan akan lebih waspada dalah menghadapi
penyakit.
d.
Kondisi
Fisik Rumah
Rumah
dikatakan sehat apabila secara umum
memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan, dan ruang
gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang menganggu.Keadaan lain yang
dapat menyebabkan penyebaran TB Paru karena kurangnya ventilasi rumah. Hal ini
dapat terjadi karena kurangnya udarasegar yang masuk ke dalam rumah.
e.
Sinar Matahari
Sinar matahari yang langsung masuk ke dalam rumah
dapat membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis, jika keadaan rumah yang tidak sesuai dengan
ketentuan maka penyebaran bakteri ini sangat mudah dan cepat.
3.
Gejala-gejala
Masa Inkubasi untuk penyakit
TBC biasanya adalah 4 - 6 minggu dengan tanda, yaitu pucat, lemah, badan kurus,
tidak memiliki semangat aktivitas, berkeringat, batuk - batuk berdahak campur
darah, dan suhu tubuh tinggi.
Menurut Saydam (2011:97), Gejala-gejala
orang yang terkena serangan bakteri TBC umumnya batuk kronis, demam dan
berkeringat di waktu malam. Disamping itu, terjadi keluhan dalam pernapasan,
badan selalu terasa letih, lesu serta rasa nyeri di bagian dada. Dahak
penderita berupa lendir yang kadang-kadang bercampur dengan darah. Batuk
penderita bisa sampai 3 minggu atau lebih. Pada tahap lanjut, dapat juga
dijumpai dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas. Berat badan menurun,
rasa demam meriang. Meskipun demikian belum tentu setiap orang yang batuknya
berdarah menderita TBC, bisa saja batuk berdarah disebabkan oleh berbagai macam
hal seperti karena penyakit paru-paru, adanya perdarahan di daerah hidung
bagian belakang yang tertekan pada saat batuk keluar dari mulut. Bisa pula
karena batuk terlalu keras sehingga menyebabkan lukanya saluran napas dan mengeluarkan
darah. Bakteri TBC yang masuk ke dalam tubuh akan berkembang biak, lama
terkumpulnya bakteri sampai menimbulkan penyakit dapat berbulan-bulan bahkan
sampai bertahun-tahun.
Dengan demikian penyakit TBC
bukanlah diwariskan dan bukanlah penyakit turunan (genetik). Namun karena
penularannya melalui percikan dahak di udara yang mengandung kuman TBC, maka
orang yang hidup dengan penderita disinyalir terjangkit juga jenis penyakit TBC
ini. Penderita TBC, biasanya memiliki status gizi yang kurang baik, sehingga
hal ini dapat mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan bagi wanita
hamil. Oleh karena itu, ibu hamil perlu diberi terapi TBC yang diminum dengan
dosis efektif paling rendah.
Menurut
Helper (2010) dalam kutipan Antoni Lamini (2002) ada 2 gejala TB paru yaitu :
gejala umum dan gejala khusus.
Gejala
umum secara klinis mempunyai gejala sbb :
a. batuk
selama lebih dari 3 minggu,
b. demam,
c. berat
badan menurun tanpa sebab,
d. berkeringat
pada waktu malam,
e. mudah
capai,
f. hilangnya
nafsu makan.
Sedangkan
Gejala khusus dapat digambarkan sebagai berikut :
a. tergantung
dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar,
b. akan
menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak,
kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada,
c. bila
mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada
muara ini akan keluar cairan nanah,
d. pada
anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak dan disebut sebagai
menginitis (radang selaput otak), gejala
adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejangkejang.
Disamping
itu, masih banyak faktor yang mempengaruhi pemberantasan TB paru antara lain
sikap petugas kesehatan dalam menangani pasien, ketersediaan obat dan faktor
penderitanya sendiri.
Berkaitan
dengan apa yang di uraikan diatas, 53, 83 % program penanggulangan TB paru
disebabkan oleh :
a.
Penderita TB menganggap sakit batuk
biasa, sehingga tidak segera berobat ke Puskesmas,
b.
Puskesmas belum dipercaya oleh
masyarakat, dan obat yang diberikan oleh puskesmas masih di anggap tidak
manjur,
c.
Kinerja puskesmas belum optimal dalam
upaya penanggulangan tuberculosis,
d.
Masih banyak praktek pengobatan yang
belum menggunakan strategi DOTS,
e.
Kemampuan pemerintah daerah dalam
menyediakan dana sangat terbatas.
4. Pencegahan
Untuk menghindari dari infeksi
bakteri TBC tentu harus diawali dengan cara pola hidup sehat dan teratur,
karena seseorang tidak tau kapan akan terserang oleh bakteri TBC. Dengan
teratur dan pola hidup sehat diharapkan daya tahan tubuh bisa memberikan
perlindungan terhadap berbagai macam penyakit. Oleh sebab itu, orang yang sehat
mskipun diserang bakteri TBC tidak akan mempan sebab sudah terbentuk sistem
kekebalan tubuh yang optimal. Pola hidup yang teratur dan sehat tentu saja
disiapkan sejak dini, biasanya selalu mengonsumsi makanan bergizi dan berserat
serta selalu memelihara kebersihan badan dan makanan serta lingkungan. Tempat
tinggalnya harus selalu terkena sinar matahari. Selain itu, bisa juga dengan
cara berhati-hati ketika mendekati orang yang menderita penyakit TB Paru dan
selalu menggunaan masker. (Saydam, 2011:98)
Pencegahan dapat dilakukan menjadi 3
bagian :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan
yang mencakup peningkatan kesehatan dengan melakukan tidak kontak dengan
pembawa penyakit. Contoh dalam penyakit TP Paru adalah pencegahan dengan
menggunakan masker, cuci tangan dengan bersih, dan lain sebagainya.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan
ini merujuk pada deteksi dini ketika sudah terjangkit penyakit oleh ahli medis.
Contoh dengan melakukan pemeriksaan agar terjadi pemulihan.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan
tersier adalah pencegahan yang dilakukan ketika sudah terjangkit penyakit yang
kronis, maka pencegahan ini dilakukan dengan cara pemulihan atau rehabilitatif.
Salah satu pencegahan yang dilakukan
oleh petugas kesehatan adalah dengan metode penyuluhan artinya petugas
kesehatan memberikan pengertian atau informasi terkait penyakit yang akan
dibahas dengan harapan dapat meningkatkan kwalitas kesehatan di masyarakat demi
terciptanya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dengan memperhatikan
beberapa hal yang penting
a.
petugas
baik dimasa persiapan atau juga waktu yang selanjutnya secara berkala harus
memberikan suatu penyuluhan pada masyarakat secara luas lewat tatap muka, lewat
ceramah dan juga media massa yang tersedia pada wilayahnya, dan juga memberikan
suatu penyuluhan mengenai pencegahan terhadap peenyakit TB Paru.
b.
Memberikan
penyuluhan pada penderita dan keluarga disaat kunjungan rumah danjuga
memberikan saran untuk bisa mendapatkan suasana rumah yang sehat.
c.
memberiikan
penyuluhan secara per orangan dengan khusus untuk penderita agar melakukan
pengobatan secara teratur dan mencegah penyebaran penyakit pada orang lain.
d.
melakukan
perubahan pola hidup masyarakat dan juga perbaikan tentang lingkungan demii
untuk mencapai masyarakat yang sehat.
e.
sebaiknya
menganjurkan masyarakat untuk melapor jika pada beberapa warganya mengaami
gejala penyakit TB Paru.
f.
Menghilangkan
rasa malu pada penderita TB Paru, karena penyakit TBC bukanlah suatu penyakit
yang memalukan.
5. Pengobatan
Bila masa dulu penyakit TBC amat
menakutkan, karena tidak bisa diobati. Namun dewasa ini penyakit TBC sudah bisa
diobati sampai sembuh. Penderita penyakit TBC biasanya memiliki status gizi
yang kurang baik, serangan bakteri TBC sangat berbahaya karena bakteri ini bisa
menyebabkan penyakit menular dengan mudah. Menurut beberapa penelitian
pengobatan TBC Paru umumnya terdiri dari dua tingkat yaitu fase terapi intensif
dan fase pemeliharaan. Fase terapi intensif dimaksudkan merupakan kombinasi
isoniazid, rifampisin dan piruzinamida selama 2 bulan berturut-turut.
Sedangkanfase pemeliharaan, dokter menggunakan isozoid bersama rifampisin
selama 4 bulan lagi. Memang jangka waktu pengobatan TBC ini memerlukan waktu
yang lama, diharapkan agar penderita tidak pernah bosan untuk mengonsumsi obat
yang diberikan dokter.Disamping itu, dapat pula digunakan obat untuk
penyembuhan alami. Namun semuanya tergantung pada penderita, bilaIa rajin
melakukan anjuran pengobatan ini, mungkin penyakit itu akan cepat berakhir.
Pola diet dan program pembangunan vitallitas yang menyeluruh secara alami,
merupakan salah satu metode untuk mengatasi penyakit ini.Sebagai langkah
pertama, penderita sebaiknya diberikandiet eksklusif buah segar selama 3 atau 4
hari. Hendaknya ia harus 3 kali buah-buahan segar seperti apel, anggur, pir,
jeruk, nanas, dan melon atau buah0buahan segar lainnya.Setelah diet buah
eksklusif, penderita hendaknya mengadopsi pola makan buah dan susu. Untuk diet
ini, makanan yang dikonsumsi persis sama dengan buak eksklusif, tapi dengan
tambahan susu setiap makan buah. Sementara yang perlu dilakukan selain untuk
pemusnahan seluruh sarang infeksi dan bakteri yang sedang tidur untuk
menghindari kambuhnya penyakit. Namun faktorterpenting untuk berhasilnya
pengobatan searah dengan kesediaan terapi dari penderita untuk secara teratur
dan terus menerus minum obat yang diberikan. Dengan demikian bila penderira
rajin mematuhi semua peraturan dan ketentuan, diharapkan waktu kesembuhan tidak
akan terlalu lama. (Saydam, 2011:99)
B. Data Kasus TB Paru
Menurut Suharyo (dalam WHO, 2013)
menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.
Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Di Indonesia
pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai
rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12 bulan
diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi pengobatan ini disebut
DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan
perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28%. Berdasarkan Global
Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar
289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC
dengan BTA positif sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus.
Kematian akibat TB sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per hari. Indonesia
menempati urutan ke tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina
dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun
2011 sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185
per 100.000 penduduk di tahun 2012.
Sejak
tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi
kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk
pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi.
Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih
terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat
TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan
baru seperti ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya
dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi.
Menurut
Kemenkes 2011, melakukan kegiatan STARNAS (Strategi Nasional) Tahun 2010-2014
dengan metode DOTS (Directly
Observed Treatment Short Course Chemotherapy).
Strategi
ekspansi dilakukan dengan prinsip pelayanan DOTS yang bermutu dengan menerapkan
lima komponen dalam strategi DOTS (yaitu komitmen politis, pemeriksaan
mikroskopis, penyediaan OAT, tersedianya PMO serta pencatatan dan pelaporan)
secara bermutu. Selain penerapan DOTS secara bermutu, pelayanan DOTS akan
diperluas bagi seluruh pasien TB, tanpa memandang latar belakang sosial
ekonomi, karakteristik demografi, wilayah geografi dan kondisi klinis.
Pelayanan DOTS yang bermutu tinggi bagi kelompok-kelompok yang rentan (misalnya
anak, daerah kumuh perkotaan, wanita, masyarakat miskin dan tidak tercakup
asuransi) menjadi prioritas tinggi.
Tujuan
program agar terlaksananya lima komponen dalam pelayanan DOTS secara bermutu
bagi seluruh pasien TB tanpa terkecuali, akses masyarakat miskin, rentan dan
yang belum terjangkau terhadap pelayanan DOTS terjamin serta upaya peningkatan
mutu dalam memberikan pelayanan DOTS yang berkesinambungan.
Adapun
program yang akan dikembangkan memperkuat penerapan lima komponen dalam
strategi DOTS, dengan fokus prioritas pada proses deteksi dini dan diagnosis
yang bermutu, sistem logistik yang efektif untuk menjamin ketersediaan obat dan
alat kesehatan, serta pengobatan yang terstandar disertai dengan dukungan yang
memadai kepada pasien.
1.
Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis
Melalui Pemeriksaan Bakteriologis yang Terjamin Mutunya
Meskipun
ilmu pengetahuan dan teknologi pemeriksaan laboratorium untuk TB berkembang dengan
pesat, deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan sputum mikroskopis tetap
merupakan kunci utama dalam penemuan kasus TB. Tujuan program ini adalah untuk
meningkatkan mutu dan kinerja laboratorium TB mikroskopik, kultur, DST dan
pemeriksaan lain untuk menunjang keberhasilan program pengendalian TB nasional.
Selain pembentukan dan penguatan jejaring laboratorium mikroskopis TB, kultur
dan uji kepekaan Mycobacterium Tuberculosis, aspek mutu dalam pelayanan
laboratorium ini dikembangkan melalui pelaksanaan pemeriksaan laboratorium TB
yang aman bagi petugas, pasien dan lingkungan, mutu fasilitas laboratorium dan
tenaga yang terlatih khususnya di daerah yang melayani masyarakat miskin,
rentan (termasuk anak) dan belum terjangkau serta penjaminan mutu melalui
quality assurance internal dan eksternal seluruh fasilitas laboratorium dan
upaya peningkatan mutu berkelanjutan yang tersertifikasi/akreditasi. Validasi
berbagai metode diagnosis baru juga akan dilaksanakan seiring dengan
perkembangan pengetahuan dan teknologi laboratorium untuk TB serta perluasan
kegiatan DST di tingkat provinsi. Selain strategi untuk meningkatkan
ketersediaan, akses dan akurasi dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan
diagnosis TB secara tepat, diperlukan pula strategi untuk mengurangi
keterlambatan diagnosis, baik yang disebabkan oleh faktor pelayanan kesehatan
maupun faktor pasien.
Intervensi
yang dilakukan mencakup:
•
Meningkatkan intensitas penemuan aktif
dengan cara skrining pada kelompok rentan tertentu (a.l. HIV, anak kurang gizi,
rutan/lapas, daerah kumuh, diabetes dan perokok)
•
Memprioritaskan pemeriksaan kontak
•
Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan
penyedia pelayanan terhadap simtom TB dan pelaksanaan ISTC
•
Meningkatkan kepatuhan terhadap alur
standar diagnosis
•
Melaksanakan upaya meningkatkan
kesehatan paru secara komprehensif.
2. Penyediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan: Sistem Logistik yang Efektif dalam Menjamin Suplai
Obat yang Kontinyu
Pencapaian
angka keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada efektivitas sistem
logistik dalam menjamin ketersediaan obat (untuk obat lini pertama dan kedua)
dan logistik non-obat secara kontinyu.
Berbagai
intervensi yang dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem logistik
dalam program pengendalian TB mencakup:
•
Memfasilitasi perusahaan obat lokal
dalam proses pra-kualifikasi (white listing)
•
Memastikan ketersediaan obat dan
logistik non-OAT (Reagen, peralatan dan suplai laboratorium) yang kontinyu,
tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang
memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas yang melayani masyarakat
miskin dan rentan
•
Menjamin sistem penyimpanan dan
distribusi obat TB yang efektif dan efisien, termasuk kemungkinan untuk
bermitra dengan pihak lain
•
Menjamin distribusi obat yang efisien
dan efektif secara berjenjang sesuai kebutuhan
•
Menjamin terlaksananya sistem informasi
manajemen untuk obat TB (termasuk sistem alert elektronik dan laporan pemakaian
dan stok OAT),
3. Memberikan
Pengobatan Sesuai Standar dengan Pengawasan dan Dukungan yang Memadai terhadap
Pasien
Agar
mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi, pengobatan pasien TB membutuhkan
penggunaan obat TB secara rasional oleh tenaga kesehatan dan dukungan yang
memadai dari berbagai pihak terhadap pasien TB dan pengawas minum obat (PMO).
Setiap
fasilitas pelayanan harus melaksanakan pendekatan pelayanan yang berfokus pada
pasien (patient-centered approach) sebagai berikut:
•
Memberikan informasi mengenai pilihan
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan pengobatan TB dan implikasinya
bagi pasien dengan tujuan meminimalkan opportunity costs dan memperhatikan
hak-hak pasien
•
Menjamin setiap pasien TB memiliki PMO
•
Mengoptimalkan pelaksanaan edukasi bagi
pasien dan PMO
•
Mempermudah akses pasien terhadap
fasilitas pelayanan kesehatan yang telah tersedia (seperti Puskesmas, Balai
Kesehatan Paru Masyarakat, rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya)
•
Mengembangkan pendekatan pelayanan DOTS
berbasis komunitas
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Akibat dari
penyebaran penyakit TB Paru yang sangat mudah dan cepat dimasyarakat akan
meningkatkan angka kesakitan yang tidak terkendali. Hal ini diperlukan strategi
untuk penanggulangan penyakit TB paru. Salah satu cara penanggulangan adalah dengan
menggunakan metode DOTS yang memiliki lima komponen (komitmen
politis, pemeriksaan mikroskopis, penyediaan OAT, tersedianya PMO serta
pencatatan dan pelaporan) dan dengan melakukan tiga program untuk memperkuat ke
lima komponen,
1. Menjamin
Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui Pemeriksaan Bakteriologis yang Terjamin
Mutunya.
2. Penyediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan: Sistem Logistik yang Efektif dalam Menjamin Suplai
Obat yang Kontinyu.
3. Memberikan
Pengobatan Sesuai Standar dengan Pengawasan dan Dukungan yang Memadai terhadap
Pasien
Sejak Tahun 1993, WHO menytakan strategi
DOTS yang dianggap efektif dalam penanganan masalah TB. Hingga masuk ke
indonesia pada tahun 1986.
B.
Saran
Saya memberikan
saran khususnya terhadap petugas kesehatan agar memberikan penyuluhan terhadap
masyarakat luas agar tercipta masyarakat yang sehat dan memiliki pola pikir
paradigma sehat. Pentingnya penyuluhan sebab masyarakat memerlukan informasi
terkait penyakit TB Paru yang mudah menular. Faktor lain yang menyebabkan
harusnya penyuluhan karena masyarakat kurang aktif dalam mencari informasi,
maka dari itu petugas kesehatan yang harus bergerak menyampaikan informasi.
16
|
DAFTAR
PUSTAKA
Astusi
dan Angga, (2010). Asuhan Keperawatan
Anak dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Trans Info Media Jakarta
Suharyo,
Determinan Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan.Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013. 9(1):85-91
Saydam,
Gouzali (2011). Memahami berbagai
penyakit pernapasan dan gangguan pencernaan. Bandung : Alfabeta
Soekano,
Soerjono dan Budi Sulistyowati (2017). Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Rahmaniati, Martya. Pola Penyebaran Kasus Tuberkulosis Dengan Pendekatan
Spasial-Statistik.Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2012. hal 5-10
Sedyaningsih, Endang Rahayu. Strategi Nasional
Pengendali TB. Jurnal Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. 2011 hal 38-43
Anonimus (2015), Sejarah Pennyakit TBC. Diunduh pada
hari sabtu, 14-April-2018 melalui web http://obattbcparu.web.id/sejarah-penyakit-tbc/
Helper, Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian TB Paru dan penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2010 9(4): 1342-1343
Anonims, cara penularan TBC. Diunduh
hari sabtu 14-april-2018 melalui web http://tuberkulosis.org/cara-penularan-tbc/
No comments:
Post a Comment