KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DIFTERI di INDONESIA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Epidemiologi
Dosen Pengampu : Siti Novianti, S.KM,. M.KM
Disusun Oleh:
Aji Nijamudin Praja
174101002 / A
Semester 2
JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
SILIWANGI
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Alloh swt, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “KLB Difteridi Indonesia” tepat pada waktu
yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhamad saw.
Makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Epidemiologi. Dalam penyusunan makalah ini penulis enyadari bahwa banyak
tantangan dan hamabatan serta bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Siti Novianti., S.K.M., M.K.M., selaku
dosen mata kuliah epidemiologi yang membimbing dalam penyelesaian makalah ini.
2.
Orang tua yang selalu memberikan
motivasi baik secara material maupun semangat, sehingga makalah ini bisa
selesai.
Penulis menyadari
bahawa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, penulis
meminta maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan dan kekurangan. Penulis sangat menharapkan kritik
dan saran dari pembaca dalam rangka penyempurna makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan masyarakat.
Tasikmalaya,
27 Mei 2018
Penulis,
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................ 1
C. Tujuan
Penulisan.............................................................................................. 1
D. Manfaat
Penulisan............................................................................................ 2
E. Metode
Penulisan............................................................................................. 2
BAB
II KAJIAN PUSTAKA..................................................................................... 3
A. Tinjauan
Pustaka.............................................................................................. 3
B. Pembahasan
Analisis Deskriptif Kasus Difteri................................................ 8
BAB
III PENUTUP.................................................................................................... 11
A. Simpulan
.......................................................................................................... 11
B. Saran................................................................................................................. 11
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium
diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil,
Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) sebab penyakit ini
mengalami peningkatan pada suatu daerah di Indonesia. Penyakit difteri ini
menyebar di Indoesia sudah cukup lama dan sudah teratasi. Tetapi di tahun-tahun
selanjutnya terjadi lagi penyebaran penyakit difteri, bahkan terkahir pada
Desember 2017 yang memakan banyak korban.
Penderita difteri umumnya anak-anak,
usia dibawah 15 tahun. Penyakit ini bukan penyakit biasa sebab dapat
menimbulkan kematian. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting,
karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT
(Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi
imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan
tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan penyakit KLB (Kejadian Luar Biasa) difteri?
2.
Bagaimana
kasus difteri di Indonesia?
3.
Bagaimana
Analisis deskriptif kasus difteri di Indoensia?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui penyakit KLB (Kejadian Luar Biasa) difteri.
2.
Untuk
mengetahui kasus KLB (Kejadian Luar Biasa) di Indonesia.
3.
Untuk
memaparkan Analisis deskriptif kasus difteri di Indoensia.
D. Manfaat
Penulisan
1.
Penulis
Agar
dapat menambah wawasan yang luas dan bisa menyelesaikan tugas dari dosen mata
kuliah tertentu.
2.
Pembaca
Agar dapat menambah wawasan mengenai KLB Difteri
3.
Masyarakat
Agar
dapat menambah wawasan dan dapat mengaplikasikan infomasi kesehatan di
kehidupan sehari-hari.
E. Metode
Penulisan
Metode penulisan yang dilakukan yait
dengan telusur pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1.
Pengertian
Penyakit Difteri
Rubuanti, Fian (2018), Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphtheriae (bakteri yang
menyebarkan penyakit melalui partikel di udara, benda pribadi, serta peralatan
rumah tangga yang terkontaminasi), umumnya menyerang selaput
lendir pada hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit.
Penyakit ini sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi
mengancam jiwa.
Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh
sel-sel sehat dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel
yang mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada
tenggorokan. Di samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi
menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.
Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi
DPT. Imunisasi difteri yang
dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus ini
disebut dengan imunisasi DPT. Imunisasi terhadap difteri termasuk
ke dalam program imunisasi wajib pemerintah Indonesia.
2.
Klasifikasi
penyakit difteri
Menurut Kij, Zahra (2016), pada
Sumarmo 2002, klasifikasi difteri berdasarkan letaknya dibedakan menjadi 4
yaitu:
a.
Difteri hidung
3
Difteri yang terjadi di hidung, pada awalnya menyerupai commond cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
b.
Difteri tonsil faring
Difteri yang ditandai dengan
anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian
timbul membrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan
dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah ke laring dan
trakea. Usaha melepaskan membrane akan mengakibatkan perdarahan.
c.
Difteri laring
Difteria laring biasanya
merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang
rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas
lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan
tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang
berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak.
d.
Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
Difteria kulit, difteria
vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri
yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan
terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan berbau.
3. Cara penularan Difteri
Rubuanti,
Fian (2018), cara penularan difteri antara lain :
a.
Terhirup percikan ludah penderita di udara saat
penderita bersin atau batuk. Ini merupakan cara penularan difteri yang
paling umum.
b. Barang-barang
yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau handuk.
c. Sentuhan
langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di
kulit penderita. Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di
lingkungan yang padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.
4.
Tanda
& Gejala Difteri
Rubuanti, Fian (2018), Tanda-tanda yang paling menonjol adalah pada
tenggorokan dan mulut, meskipun penyakit ini dapat menyerang bagian tubuh
manapun. Tanda-tanda dan gejala umum dari difteri adalah:
a.
Tenggorokan
& amandel telah dilapisi selaput tebal berwarna abu-abu.
b.
Radang
tenggorokan dan suara serak
c.
Pembengkakan
kelenjar limfe pada leher
d.
Masalah
pernapasan dan saat menelan
e.
Cairan
pada hidung, ngiler seperti Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan
menjadi kental dan terkadang bercampur darah
f.
Demam
dan menggigil
g.
Batuk
yang keras
h.
Perasaan
tidak nyaman
i.
Perubahan
pada penglihatan
j.
Bicara
yang melantur
k.
Tanda-tanda
shock, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung berdebar
cepat.
l.
Lemas
dan lelah.
Difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya
tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Terkadang dapat menyerang kulit dan
menyebabkan luka seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh
dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.
Apabila tidak menjalani pengobatan
dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang di
sekitarnya, penyebaran bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi
orang yang tidak mendapatkan vaksin difteri.
5. Masa Inkubasi
Kandun, Nyoman (2016), Masa inkubasi penyakit difteri tergolong cepat yaitu
antara 2-5 hari. Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi,
status imunitas dan penyebaran toksin. Dilihat secara klinis, difteri
bisa terjadi di hidung, tonsil, laring, faring, laringotrakea, konjungtiva,
kulit, dan genital. Infeksi difteri bisa menimbulkan kematian jika sudah
terjadi komplikasi pada laring dan trakea. Komplikasi biasanya juga merusak
jantung, sistem syaraf dan ginjal. Sebelum hal itu
terjadi, pasien harus
segera mendapatkan obat antitoksin difteri dan antibiotika penisilin dan
eritromisin. Selain itu, perlu diberikan pengobatan suportif dengan istirahat
total 2-3 minggu. Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan
dengan tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan
dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap difteri, pertusis dan tetanus secara bersamaan.
6.
Pencegahan
Anonimus,
(2016) Langkah pencegahan yang paling efektif untuk difteri yaitu dengan
melakukan vaksin. Pencegahan difteri ini tergabung dalam vaksin yang biasa
disebut vaksin DPT. Vaksin ini diantaranya meliputi difteri, tetanus, serta
pertusis ataupun batuk rejan. Vaksin DPT merupakan salah satu dari kelima
imunisasi yang wajib bagi anak-anak di Indonesia. Adapun pemberian vaksin ini
biasanya dilakukan sebanyak lima kali saat anak berumur 2 bulan; 4bulan; 6
bulan; 1,5-2 tahun, serta 5 tahun. Adapun
perlindungan tersebut umumnya bisa melindungi anak-anak terhadap difteri seumur
hidup. Akan tetapi vaksinasi ini bisa diberikan lagi pada saat anak mulai
memasuki masa remaja ataupun tepatnya ketika berusia 11-18 tahun dengan tujuan
untuk memaksimalkan keefektifan nya. Bagi penderita difteri yang telah sembuh
juga sangat disarankan untuk menerima lagi vaksin karena tetap mempunyai risiko
untuk tertular lagi penyakit yang sama.
7.
Kasus Difteri di Indonesia
Dikutip dalam Artikel
yang berjudul Indonesia
Berperang Melawan Difteri dan Anti-imunisasi melalui situs tirto.id
Putri, Aditya Widya (2017) pada akhir 2017, masyarakat
dihebohkan oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Data Kementerian Kesehatan
menunjukkan bahwa sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten/kota dari 20
provinsi melaporkan kasus penyakit ini. Di Jawa Barat, menurut situs Depkes, terdapat 13 kematian
karena difteri, sedangkan di Banten mencapai 9 orang.
Angka kejadian difteri memang naik terus
beberapa tahun belakangan ini. Pada 2016, menurut data Profil
Kesehatan Indonesia,
ada 415 kasus dengan jumlah kasus
meninggal
sebanyak 24 kasus. Tahun sebelumnya, tercatat ada 252 kasus difteri
dan 5 di antaranya meninggal dunia.
Tentu instansi kesehatan
harus memeriksa faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya wabah. Namun,
dilihat dari trennya, cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi Indonesia
memang terus menurun. Pada 2012, partisipasinya
mencapai 93,3 persen, tapi turun menjadi 86,8 persen pada 2013. Lalu, 89,9
persen di tahun 2013, menjadi 86,9 persen di tahun 2014 dan 86,5 persen di
tahun 2015. Difteri sesungguhnya telah berhasil diperangi
Indonesia pada 1990, saat program imunisasi digalakkan. Namun, penyakit akibat
infeksi bakteri yang umum menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan
ini kembali hadir di Jawa Timur pada 2009.
Selain
karena terdapat kelompok yang tidak divaksin sejak awal, wabah difteri
diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat melakukan imunisasi DPT ulang
setiap 10 tahun sekali. Menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kemenkes RI,
Elizabeth Jane Soepardi, kondisi ini menyebabkan ketahanan tubuh terhadap
bakteri menurun.
“Terbukti 60 persen kasus difteri terjadi karena
tidak diimunisasi,” ujar dr. Jane kepada Tirto.
Tentu
tak semua anak atau orang dewasa bisa diimunisasi. Ada kondisi-kondisi
tertentu, misalnya alergi, yang membuat tak semua orang bisa disuntik vaksin.
Namun, lingkungan di sekeliling anak atau orang dewasa yang punya kekecualian
tersebut tetap harus mendapat imunisasi.
Imunisasi
tak hanya penting bagi tiap-tiap individu yang disuntik, tapi juga bagi
tetangga atau orang di sekitarnya yang punya kekhususan tak bisa diimunisasi.
Lingkungan yang mayoritas penduduknya diimunisasi sehingga tak tertular virus
atau bakteri, akan menjadi benteng bagi segelintir individu yang tak bisa
disuntik vaksin dan menjadi perisai bagi orang yang punya kerentanan lebih
tinggi.
Menurut
Rahmita, Intan (2017) dalam situs Kompasiana ada strategi yang dicanangkan
pemerintah mengenai KLB Difteri yaitu Outbreak
Response Immunization (ORI).
(Outbreak Response Immunization) ORI adalah
salah satu upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) suatu penyakit dengan
pemberian imunisasi. ORI merupakan strategi untuk mencapai kekebalan individu
dan komunitas hingga sebersar 90-95%. Sehingga KLB difteri bisa diatasi.
Saat
ini, ORI dikhususkan untuk wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ketiga
provinsi tersebut dipilih karena tingginya prevalensi dan kepadatan
penduduknya. Individu yang mendapatkan ORI adalah anak usia 1 - < 19 tahun.
Untuk anak usia 1 - < 5 tahun mendapatkan DPT-HB-HIB, anak usia 5 - < 7
tahun mendapatkan DT, dan usia 7 - < 19 tahun mendapatkan imunisasi Td,
serta dilaksanakan sebanyak 3 putaran dengan interval 0-1-6 bulan, yaitu pada
Desember 2017 (putaran pertama), Januari 2018 (putaran kedua), dan Juli 2018
(putaran ketiga). Dan, pemberian imunisasi ini diberikan tanpa melihat status
imunisasi sebelumnya.
B. Pembahasan Analisis Deskriptif
Kasus Difteri
Penyakit
Difteri merupakan penyakit menular yang sudah lama berada di Indonesia,
sehingga penyakit ini disebut dengan penyakit kuno. Pada tahun 1990 difteri
berhasil di eliminasi di Indonesia ketika kegatan imunisasi dikerahkan, tetapi
pada tahun 2009 difteri kembali menyerang Indonesia di Jawa Timur. Kemudian
terus meningkat pada tahun berikutnya.
Pada
Epidemiologi frekuensi dan penyebaran penyakit atau masalah kesehatan
umumnya terbagi dalam karakteristik orang, tempat dan waktu.
Dilihat
dari karakteristik orang, terjadinya kasus diatas yang terus meningkat
disebabkan kurang kesadaran masyarakat dalam mengikuti program pemerintah yaitu
imunisasi DPT, kurang kesadaran ini karena kurangnya pengetahuan mengenai masalah
kesehatan. Pengetahun didasari dengan melakukan pendidikan baik formal maupun
non formal. Pendidikan formal dilakukan melalui pendidikan yang diwajibkan
pemerintah yaitu wajib belajar 12 tahun, biasanya dalam pendidikan formal
terdapat materi atau informasi seputar kesehatan. Sedangkan pendidikan non
formal yaitu pendidikan yang tidak diwajibkan pemerintah, salah satu contoh yaitu
pendidikan kesehatan yang dilakukan petugas kesehatan di posyandu mengenai
program penyuluhan. Jika masyarakat kurang berpartisipasi dalam kegiatan
pendidikan ini, maka akan kurang kesadaran dan rasa peduli dalam menjaga
kesehatan baik peribadi, keluarga maupun lingkungan. Hal ini yang menyebabkan
semakin meningkatnya masalah kesehatan pada masyarakat, terbukti dalam kasus
yang pernah terjadi di Indonesia Pada 2012, partisipasinya mencapai 93,3
persen, tapi turun menjadi 86,8 persen pada 2013. Lalu, 89,9 persen di tahun
2013, menjadi 86,9 persen di tahun 2014 dan 86,5 persen di tahun 2015.
Yang
menjadi penyebab masalah kesehatan selain pendidikan, dalam kasus ditemukan
bahwa yang menjadi sasaran bakteri untuk menyebarkan penyakit yaitu anak-anak,
sebab anak-anak sangat mudah sekali terserang penyakit terutama penyakit
menular sebab belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat. Biasanya difteri
menyeba r pada pra remaja dan remaja. Sehingga
sangat diperlukan imunisasi sejak usia masih bayi.
Karakteristik tempat sangat
mempengaruhi penyebaran penyakit, Indonesia termasuk daerah tropis sehingga
penebaran penyakit menular difteri sangat mudah dan cepat sebab salah satu
media penularan dapat melalui udara. Selain itu, kepadatan penduduk dapat mendukung
penyebaran penyakit sangat mudah dan cepat, terbukti di kota-kota besar seperti Provinsi Jakarta,
Jawa Barat dan Banten penyebaran penyakit difteri sangat cepat hal ini karena
jumlah penduduknya sangat padat. Kepadatan penduduk bisa disebabkan karena
cepatnya angka fertilitas, rendahnya mortalitas atau tingginya angka migrasi ke
kota tersebut. Hal ini mengakibatkan Provinsi Jakarta, Jawa Barat, dan Banten
menjadi sasaran utama pemerintah dalam penerapan program ORI (Outbreak Response Immunization). ORI
merupakan satu upaya untuk penanggulangan penyakit dengan cara pemberian
imunisasi dan strategi untuk meningkatkan sistem kekebalaan mencapai 90-95%
sehingga diharapkan difteri dapat di atasi.
Selanjutnya
karkteristik waktu menjadi frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan. Pada penyakit
menular difteri termasuk dalam waktu tren jangka pendek yaitu epidemi difteri
sebab terbukti dalam kasus di atas peningkatan penyakit terjadi dari tahun ke
tahun mulai dari 2012, 2013, 2014, 2015 menurut data Profil
Kesehatan Indonesia tercatat ada 252 kasus difteri
dan 5 di antaranya meninggal dunia, bahkan di 2016 ada 415 kasus dengan jumlah
kasus meninggal sebanyak 24 kasus, dan yang terakhir dari data Kementerian
Kesehatan menunjukkan bahwa sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten/kota
dari 20 provinsi melaporkan kasus penyakit ini. Di Jawa Barat, menurut
situs Depkes, terdapat 13 kematian
karena difteri, sedangkan di Banten mencapai 9 orang.
Hal
lain yang memudahkan penyebaran penyakit terjadi pada malam hari sebab biasanya
bakteri ini akan tumbuh menyebar dalam keadaann cuaca yang lembab.
Masa
Inkubasi infeksi bakteri difteri tergolong sangat cepat yaitu 2-5 hari, Gejala
klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imunitas dan penyebaran toksin. Dilihat secara klinis,
difteri bisa terjadi di hidung, tonsil, laring, faring, laringotrakea,
konjungtiva, kulit, dan genital.
Jika
terkena infeksi difteri ini, kalau tidak ditangani oleh pihak medis resiko yang
didapat bisa berdampak terhadap kematian.
Oleh
sebab itu, agar terhindar penyakit menular khususnya difteri maka sebagai
masyarakat agar selalu memperhatikan kesehatan baik peribadi, kluarga, dan
lingkugan. Selain itu, diharapkan selalu mendengarkan dan melaksanakan
informasi yang didapat seputar kesehatan agar diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Terutama yang perlu diperhatikan berdasarkan 3 karakteristik yaitu
orang, tempat dan waktu.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dapat menyebar
dengan cepat dan mudah. Penyakit ini sudah lama ada di Indonesia sehngga
disebut sebagai penyakit kuno, tetapi sudah bisa di eliminasi pada tahun 1990
dan kembali menyebar pada tahun 2009 di Jawa Timur. Penyebaran yang umum
melalui media udara, bisa juga melalui benda-beda yang telah tercemar oleh
bakteri difteri. Adapun gejala yang dirasakan ketika terpapar oleh penyakit ini
antara lain adalah sebagai berikut radang tenggorokan dan suara serak, pembengkakan kelenjar limfe pada
leher, masalah pernapasan dan saat menelan, cairan pada hidung, ngiler
seperti pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan
terkadang bercampur darah, demam dan menggigil, batuk yang keras dan
sebagainya.
Di Indoesia penyakit difteri terus meningkat sejak tahun 2012-2017 hal
ini dikarenakan oleh beberapa faktor jika di analisis terdapat dalam tiga
karakteristik yaitu menurut karakteritik orang, tempat dan waktu.
Dari sisi orang hal ini disebabkan kurangnya pendidikan masyarakat
setempat mengenai kesehatan, sehingga kurang kesadaran dan kepedulian untuk
menjaga kesehatan baik itu peribadi, keluarga atau lingkugan. Selain itu
berdasar umur bahwa yang mudah terpapar adalah usia pra remaja dan remaja,
sebab hal ini masih kurangnya sistem kekebalan tubuh, apalagi bagi orang yang
sejak bayi tidak melakukan imunisasi.
Kemudian menurut tempat, bahwa penyakit ini mudah menyebar pada tempat
yang tropis dan jumlah penduduk yang padat.
Dan selanjutnya berdasar waktu, bahwa waktu terjadinya penyebaran difteri
ini termasuk ke dalam tren jangka pendek yaiyu epidemi difteri sebab angkan
insiden kesakitan terjadi setiap tahun tidak sesuai yang diperkirakan.
B. Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Saran sangat penulis harapkan demi
memperbaiki dalam penysunan maalah yangakan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Rubianti,Fian.
(2018) . Apa Itu Difteri, Penyebab, Gejala, Penularan dan Mengobati. [Online]
diunduh pada tanggal 28-Mei-2018 melalui web https://duniabidan.com/kesehatan/apa-itu-difteri-penyebab-gejala-penularan-dan-mengobati.html
Kij,
Zarja (2016). Difteri. [Online] diunduh pada tanggal 28-Mei-2018 melalui laman
web http://mahasiswakeperawatan1.blogspot.co.id/2016/10/makalah-difteri.html
Anonimus,
(2016). Difteri Definisi Penyebab Dan Pengobatan serta Tanda Gejala Penyakit
Difteri Menurut Ilmu Kedokteran. [Online] diunduh pada tanggal 28-Mei-2018
melalui laman web https://www.pusatmedik.org/2016/12/difteri-definisi-penyebab-dan-pengobatan-serta-tanda-gejala-penyakit-difteri-menurut-ilmu-kedokteran.html
Kandun,
Nyoman (2016). Difteri. [Online] diunduh pada tanggal 28-Mei-2018 melalui laman
web https://www.paei.or.id/difteri-diphterite/
Putri ,
Aditya Widya (2017). Artikel Indonesia Berperang Melawan Difteri dan
Anti-imunisasi di Unduh pada tanggal 27- Mei – 2018 [Online] pada laman web https://tirto.id/2017-indonesia-berperang-melawan-difteri-dan-anti-imunisasi-cCxg
Rahmita, Intan
(2017). Outbreak Response Immunization Difteri di unduh pada tanggal 27 – Mei -
2018 [Online] pada laman web https://www.kompasiana.com/intanrachmita/5a2e3068ab12ae59356ece03/outbreak-response-immunization-difteri
No comments:
Post a Comment