Monday, July 16, 2018

KLB Difteri di Indonesia

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) DIFTERI di INDONESIA

MAKALAH


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Epidemiologi
Dosen Pengampu : Siti Novianti, S.KM,. M.KM



Disusun Oleh:
Aji Nijamudin Praja
174101002 / A
Semester 2





JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2018



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh swt, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KLB Difteridi Indonesia” tepat pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhamad saw.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas  mata kuliah Epidemiologi. Dalam penyusunan makalah ini penulis enyadari bahwa banyak tantangan dan hamabatan serta bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1.      Siti Novianti., S.K.M., M.K.M., selaku dosen mata kuliah epidemiologi yang membimbing dalam penyelesaian makalah ini.
2.      Orang tua yang selalu memberikan motivasi baik secara material maupun semangat, sehingga makalah ini bisa selesai.
Penulis menyadari bahawa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, penulis meminta maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan dan  kekurangan. Penulis sangat menharapkan kritik dan saran dari pembaca dalam rangka penyempurna makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan masyarakat.


Tasikmalaya, 27 Mei 2018



      Penulis,



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1
D.    Manfaat Penulisan............................................................................................ 2
E.     Metode Penulisan............................................................................................. 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA..................................................................................... 3
A.    Tinjauan Pustaka.............................................................................................. 3
B.     Pembahasan Analisis Deskriptif Kasus Difteri................................................ 8
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 11
A.    Simpulan .......................................................................................................... 11
B.     Saran................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 12




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) sebab penyakit ini mengalami peningkatan pada suatu daerah di Indonesia. Penyakit difteri ini menyebar di Indoesia sudah cukup lama dan sudah teratasi. Tetapi di tahun-tahun selanjutnya terjadi lagi penyebaran penyakit difteri, bahkan terkahir pada Desember 2017 yang memakan banyak korban.
        Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Penyakit ini bukan penyakit biasa sebab dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
         Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan penyakit KLB (Kejadian Luar Biasa) difteri?
2.      Bagaimana kasus difteri di Indonesia?
3.      Bagaimana Analisis deskriptif kasus difteri di Indoensia?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui penyakit KLB (Kejadian Luar Biasa) difteri.
2.      Untuk mengetahui kasus KLB (Kejadian Luar Biasa) di Indonesia.
3.      Untuk memaparkan Analisis deskriptif kasus difteri di Indoensia.


D.    Manfaat Penulisan
1.         Penulis
Agar dapat menambah wawasan yang luas dan bisa menyelesaikan tugas dari dosen mata kuliah tertentu.
2.         Pembaca
Agar dapat  menambah wawasan mengenai KLB Difteri
3.         Masyarakat
Agar dapat menambah wawasan dan dapat mengaplikasikan infomasi kesehatan di kehidupan sehari-hari.
E.     Metode Penulisan
            Metode penulisan yang dilakukan yait dengan telusur pustaka. 



BAB II
PEMBAHASAN



A. Tinjauan Pustaka
1.      Pengertian Penyakit Difteri  
Rubuanti, Fian (2018), Difteri adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae (bakteri yang menyebarkan penyakit melalui partikel di udara, benda pribadi, serta peralatan rumah tangga yang terkontaminasi), umumnya menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.
Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.

Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi DPT. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus ini disebut dengan imunisasi DPT. Imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah Indonesia.

2.      Klasifikasi penyakit difteri
Menurut Kij, Zahra (2016), pada Sumarmo 2002, klasifikasi difteri berdasarkan letaknya dibedakan menjadi 4 yaitu:
a.         Difteri hidung


3
Difteri yang terjadi di hidung, pada awalnya menyerupai commond cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus  dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.
b.         Difteri tonsil faring
Difteri yang ditandai dengan anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membrane akan mengakibatkan perdarahan.
c.        Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif,  suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
d.         Difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga
                   Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan berbau.

3.      Cara penularan Difteri


Rubuanti, Fian (2018), cara penularan difteri antara lain :

a.       Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk. Ini merupakan cara penularan difteri yang paling umum.
b.      Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau handuk.
c.       Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita. Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan yang padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.

4.      Tanda & Gejala Difteri

Rubuanti, Fian (2018), Tanda-tanda yang paling menonjol adalah pada tenggorokan dan mulut, meskipun penyakit ini dapat menyerang bagian tubuh manapun. Tanda-tanda dan gejala umum dari difteri adalah:
a.       Tenggorokan & amandel telah dilapisi selaput tebal berwarna abu-abu.
b.      Radang tenggorokan dan suara serak
c.       Pembengkakan kelenjar limfe pada leher
d.      Masalah pernapasan dan saat menelan
e.       Cairan pada hidung, ngiler seperti Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur darah
f.       Demam dan menggigil
g.      Batuk yang keras
h.      Perasaan tidak nyaman
i.        Perubahan pada penglihatan
j.        Bicara yang melantur
k.      Tanda-tanda shock, seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung berdebar cepat.
l.        Lemas dan lelah.
Difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.
Apabila tidak menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang di sekitarnya, penyebaran bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak mendapatkan vaksin difteri.
5.      Masa Inkubasi
Kandun, Nyoman (2016), Masa inkubasi penyakit difteri tergolong cepat yaitu antara 2-5 hari. Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imunitas  dan penyebaran toksin. Dilihat secara klinis, difteri bisa terjadi di hidung, tonsil, laring, faring, laringotrakea, konjungtiva, kulit, dan genital. Infeksi difteri bisa menimbulkan kematian jika sudah terjadi komplikasi pada laring dan trakea. Komplikasi biasanya juga merusak jantung, sistem syaraf dan ginjal. Sebelum hal itu 

terjadi, pasien harus segera mendapatkan obat antitoksin difteri dan antibiotika penisilin dan eritromisin. Selain itu, perlu diberikan pengobatan suportif dengan istirahat total 2-3 minggu. Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap difteri, pertusis dan tetanus secara bersamaan.
6.      Pencegahan
Anonimus, (2016) Langkah pencegahan yang paling efektif untuk difteri yaitu dengan melakukan vaksin. Pencegahan difteri ini tergabung dalam vaksin yang biasa disebut vaksin DPT. Vaksin ini diantaranya meliputi difteri, tetanus, serta pertusis ataupun batuk rejan. Vaksin DPT merupakan salah satu dari kelima imunisasi yang wajib bagi anak-anak di Indonesia. Adapun pemberian vaksin ini biasanya dilakukan sebanyak lima kali saat anak berumur 2 bulan; 4bulan; 6 bulan; 1,5-2 tahun, serta 5 tahun.  Adapun perlindungan tersebut umumnya bisa melindungi anak-anak terhadap difteri seumur hidup. Akan tetapi vaksinasi ini bisa diberikan lagi pada saat anak mulai memasuki masa remaja ataupun tepatnya ketika berusia 11-18 tahun dengan tujuan untuk memaksimalkan keefektifan nya. Bagi penderita difteri yang telah sembuh juga sangat disarankan untuk menerima lagi vaksin karena tetap mempunyai risiko untuk tertular lagi penyakit yang sama.
7.      Kasus Difteri di Indonesia
Dikutip dalam Artikel yang berjudul Indonesia Berperang Melawan Difteri dan Anti-imunisasi melalui situs tirto.id
Putri, Aditya Widya (2017) pada akhir 2017, masyarakat dihebohkan oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten/kota dari 20 provinsi melaporkan kasus penyakit ini. Di Jawa Barat, menurut situs Depkes, terdapat 13 kematian karena difteri, sedangkan di Banten mencapai 9 orang.
Angka kejadian difteri memang naik terus beberapa tahun belakangan ini. Pada 2016, menurut data Profil Kesehatan Indonesia, ada 415 kasus dengan jumlah kasus 
meninggal sebanyak 24 kasus. Tahun sebelumnya, tercatat ada 252 kasus difteri dan 5 di antaranya meninggal dunia.
Tentu instansi kesehatan harus memeriksa faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya wabah. Namun, dilihat dari trennya, cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi Indonesia memang terus menurun. Pada 2012, partisipasinya mencapai 93,3 persen, tapi turun menjadi 86,8 persen pada 2013. Lalu, 89,9 persen di tahun 2013, menjadi 86,9 persen di tahun 2014 dan 86,5 persen di tahun 2015. Difteri sesungguhnya telah berhasil diperangi Indonesia pada 1990, saat program imunisasi digalakkan. Namun, penyakit akibat infeksi bakteri yang umum menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan ini kembali hadir di Jawa Timur pada 2009.
Selain karena terdapat kelompok yang tidak divaksin sejak awal, wabah difteri diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat melakukan imunisasi DPT ulang setiap 10 tahun sekali. Menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kemenkes RI, Elizabeth Jane Soepardi, kondisi ini menyebabkan ketahanan tubuh terhadap bakteri menurun.

“Terbukti 60 persen kasus difteri terjadi karena tidak diimunisasi,” ujar dr. Jane kepada Tirto.

Tentu tak semua anak atau orang dewasa bisa diimunisasi. Ada kondisi-kondisi tertentu, misalnya alergi, yang membuat tak semua orang bisa disuntik vaksin. Namun, lingkungan di sekeliling anak atau orang dewasa yang punya kekecualian tersebut tetap harus mendapat imunisasi.
Imunisasi tak hanya penting bagi tiap-tiap individu yang disuntik, tapi juga bagi tetangga atau orang di sekitarnya yang punya kekhususan tak bisa diimunisasi. Lingkungan yang mayoritas penduduknya diimunisasi sehingga tak tertular virus atau bakteri, akan menjadi benteng bagi segelintir individu yang tak bisa disuntik vaksin dan menjadi perisai bagi orang yang punya kerentanan lebih tinggi. 
Menurut Rahmita, Intan (2017) dalam situs Kompasiana ada strategi yang dicanangkan pemerintah mengenai KLB Difteri yaitu Outbreak Response Immunization (ORI).
(Outbreak Response Immunization) ORI adalah salah satu upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) suatu penyakit dengan pemberian imunisasi. ORI merupakan strategi untuk mencapai kekebalan individu dan komunitas hingga sebersar 90-95%. Sehingga KLB difteri bisa diatasi.
Saat ini, ORI dikhususkan untuk wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ketiga provinsi tersebut dipilih karena tingginya prevalensi dan kepadatan penduduknya. Individu yang mendapatkan ORI adalah anak usia 1 - < 19 tahun. Untuk anak usia 1 - < 5 tahun mendapatkan DPT-HB-HIB, anak usia 5 - < 7 tahun mendapatkan DT, dan usia 7 - < 19 tahun mendapatkan imunisasi Td, serta dilaksanakan sebanyak 3 putaran dengan interval 0-1-6 bulan, yaitu pada Desember 2017 (putaran pertama), Januari 2018 (putaran kedua), dan Juli 2018 (putaran ketiga). Dan, pemberian imunisasi ini diberikan tanpa melihat status imunisasi sebelumnya.
B. Pembahasan Analisis Deskriptif Kasus Difteri
Penyakit Difteri merupakan penyakit menular yang sudah lama berada di Indonesia, sehingga penyakit ini disebut dengan penyakit kuno. Pada tahun 1990 difteri berhasil di eliminasi di Indonesia ketika kegatan imunisasi dikerahkan, tetapi pada tahun 2009 difteri kembali menyerang Indonesia di Jawa Timur. Kemudian terus meningkat pada tahun berikutnya.
Pada Epidemiologi frekuensi dan penyebaran penyakit atau masalah kesehatan umumnya  terbagi dalam  karakteristik orang, tempat dan waktu.
Dilihat dari karakteristik orang, terjadinya kasus diatas yang terus meningkat disebabkan kurang kesadaran masyarakat dalam mengikuti program pemerintah yaitu imunisasi DPT, kurang kesadaran ini karena kurangnya pengetahuan mengenai masalah kesehatan. Pengetahun didasari dengan melakukan pendidikan baik formal maupun non formal. Pendidikan formal dilakukan melalui pendidikan yang diwajibkan pemerintah yaitu wajib belajar 12 tahun, biasanya dalam pendidikan formal terdapat materi atau informasi seputar kesehatan. Sedangkan pendidikan non formal yaitu pendidikan yang tidak diwajibkan pemerintah, salah satu contoh yaitu pendidikan kesehatan yang dilakukan petugas kesehatan di posyandu mengenai program penyuluhan. Jika masyarakat kurang berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan ini, maka akan kurang kesadaran dan rasa peduli dalam menjaga kesehatan baik peribadi, keluarga maupun lingkungan. Hal ini yang menyebabkan semakin meningkatnya masalah kesehatan pada masyarakat, terbukti dalam kasus yang pernah terjadi di Indonesia Pada 2012, partisipasinya mencapai 93,3 persen, tapi turun menjadi 86,8 persen pada 2013. Lalu, 89,9 persen di tahun 2013, menjadi 86,9 persen di tahun 2014 dan 86,5 persen di tahun 2015.
Yang menjadi penyebab masalah kesehatan selain pendidikan, dalam kasus ditemukan bahwa yang menjadi sasaran bakteri untuk menyebarkan penyakit yaitu anak-anak, sebab anak-anak sangat mudah sekali terserang penyakit terutama penyakit menular sebab belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat. Biasanya difteri menyeba r pada pra remaja dan remaja.  Sehingga sangat diperlukan imunisasi sejak usia masih bayi.
            Karakteristik tempat sangat mempengaruhi penyebaran penyakit, Indonesia termasuk daerah tropis sehingga penebaran penyakit menular difteri sangat mudah dan cepat sebab salah satu media penularan dapat melalui udara. Selain itu, kepadatan penduduk dapat mendukung penyebaran penyakit sangat mudah dan cepat, terbukti  di kota-kota besar seperti Provinsi Jakarta, Jawa Barat dan Banten penyebaran penyakit difteri sangat cepat hal ini karena jumlah penduduknya sangat padat. Kepadatan penduduk bisa disebabkan karena cepatnya angka fertilitas, rendahnya mortalitas atau tingginya angka migrasi ke kota tersebut. Hal ini mengakibatkan Provinsi Jakarta, Jawa Barat, dan Banten menjadi sasaran utama pemerintah dalam penerapan program ORI (Outbreak Response Immunization). ORI merupakan satu upaya untuk penanggulangan penyakit dengan cara pemberian imunisasi dan strategi untuk meningkatkan sistem kekebalaan mencapai 90-95% sehingga diharapkan difteri dapat di atasi.
Selanjutnya karkteristik waktu menjadi frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan. Pada penyakit menular difteri termasuk dalam waktu tren jangka pendek yaitu epidemi difteri sebab terbukti dalam kasus di atas peningkatan penyakit terjadi dari tahun ke tahun mulai dari 2012, 2013, 2014, 2015 menurut data Profil Kesehatan Indonesia tercatat ada 252 kasus difteri dan 5 di antaranya meninggal dunia, bahkan di 2016 ada 415 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus, dan yang terakhir dari data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten/kota dari 20 provinsi melaporkan kasus penyakit ini. Di Jawa Barat, menurut situs Depkes, terdapat 13 kematian karena difteri, sedangkan di Banten mencapai 9 orang.
Hal lain yang memudahkan penyebaran penyakit terjadi pada malam hari sebab biasanya bakteri ini akan tumbuh menyebar dalam keadaann cuaca yang lembab.
Masa Inkubasi infeksi bakteri difteri tergolong sangat cepat yaitu 2-5 hari, Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imunitas  dan penyebaran toksin. Dilihat secara klinis, difteri bisa terjadi di hidung, tonsil, laring, faring, laringotrakea, konjungtiva, kulit, dan genital.
Jika terkena infeksi difteri ini, kalau tidak ditangani oleh pihak medis resiko yang didapat bisa berdampak terhadap kematian.

Oleh sebab itu, agar terhindar penyakit menular khususnya difteri maka sebagai masyarakat agar selalu memperhatikan kesehatan baik peribadi, kluarga, dan lingkugan. Selain itu, diharapkan selalu mendengarkan dan melaksanakan informasi yang didapat seputar kesehatan agar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama yang perlu diperhatikan berdasarkan 3 karakteristik yaitu orang, tempat dan waktu.  

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae  dapat menyebar dengan cepat dan mudah. Penyakit ini sudah lama ada di Indonesia sehngga disebut sebagai penyakit kuno, tetapi sudah bisa di eliminasi pada tahun 1990 dan kembali menyebar pada tahun 2009 di Jawa Timur. Penyebaran yang umum melalui media udara, bisa juga melalui benda-beda yang telah tercemar oleh bakteri difteri. Adapun gejala yang dirasakan ketika terpapar oleh penyakit ini antara lain adalah sebagai berikut radang tenggorokan dan suara serak, pembengkakan kelenjar limfe pada leher, masalah pernapasan dan saat menelan, cairan pada hidung, ngiler seperti pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur darah, demam dan menggigil, batuk yang keras dan sebagainya.
Di Indoesia penyakit difteri terus meningkat sejak tahun 2012-2017 hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor jika di analisis terdapat dalam tiga karakteristik yaitu menurut karakteritik orang, tempat dan waktu.
Dari sisi orang hal ini disebabkan kurangnya pendidikan masyarakat setempat mengenai kesehatan, sehingga kurang kesadaran dan kepedulian untuk menjaga kesehatan baik itu peribadi, keluarga atau lingkugan. Selain itu berdasar umur bahwa yang mudah terpapar adalah usia pra remaja dan remaja, sebab hal ini masih kurangnya sistem kekebalan tubuh, apalagi bagi orang yang sejak bayi tidak melakukan imunisasi.
Kemudian menurut tempat, bahwa penyakit ini mudah menyebar pada tempat yang tropis dan jumlah penduduk yang padat.
Dan selanjutnya berdasar waktu, bahwa waktu terjadinya penyebaran difteri ini termasuk ke dalam tren jangka pendek yaiyu epidemi difteri sebab angkan insiden kesakitan terjadi setiap tahun tidak sesuai yang diperkirakan.
B. Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Saran sangat penulis harapkan demi memperbaiki dalam penysunan maalah yangakan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Rubianti,Fian. (2018) . Apa Itu Difteri, Penyebab, Gejala, Penularan dan Mengobati. [Online] diunduh pada tanggal 28-Mei-2018 melalui web https://duniabidan.com/kesehatan/apa-itu-difteri-penyebab-gejala-penularan-dan-mengobati.html
Kij, Zarja (2016). Difteri. [Online] diunduh pada tanggal 28-Mei-2018 melalui laman web http://mahasiswakeperawatan1.blogspot.co.id/2016/10/makalah-difteri.html
Anonimus, (2016). Difteri Definisi Penyebab Dan Pengobatan serta Tanda Gejala Penyakit Difteri Menurut Ilmu Kedokteran. [Online] diunduh pada tanggal 28-Mei-2018 melalui laman web https://www.pusatmedik.org/2016/12/difteri-definisi-penyebab-dan-pengobatan-serta-tanda-gejala-penyakit-difteri-menurut-ilmu-kedokteran.html
Kandun, Nyoman (2016). Difteri. [Online] diunduh pada tanggal 28-Mei-2018 melalui laman web https://www.paei.or.id/difteri-diphterite/
Putri , Aditya Widya (2017). Artikel Indonesia Berperang Melawan Difteri dan Anti-imunisasi di Unduh pada tanggal 27- Mei – 2018 [Online] pada laman web https://tirto.id/2017-indonesia-berperang-melawan-difteri-dan-anti-imunisasi-cCxg
Rahmita, Intan (2017). Outbreak Response Immunization Difteri di unduh pada tanggal 27 – Mei - 2018 [Online] pada laman web https://www.kompasiana.com/intanrachmita/5a2e3068ab12ae59356ece03/outbreak-response-immunization-difteri




No comments:

Post a Comment