Saturday, April 4, 2020

BPJS Kesehatan Selalu Defisit dan Potensi Gagal Bayar BPJS Kesehatan sampai 15,5 T



Berdasarkan permasalahan dalam sebuah artikel yang di post olen CNBCIndonesia pada 19 Januari 2020 pukul  09.26 dengan judul Potensi Gagal Bayar BPJS Kesehatan Mengerikan Rp 15,5 T melalui alamat link berikut
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200219092124-4-138887/potensi-gagal-bayar-bpjs-kesehatan-mengerikan-rp-155-t maka perlu ditinjau atau dikaji dari berbagai macam sudut pandang, baik segi kebijakan, sosial kultur masyarakat, program BPJS, menejemen BPJS dan lai-lain.
            Dalam artikel tersebut membahas tentang  potensi gagal BPJS kesehatan, karena sampai saat ini pun BPJS terus mengalami defisit mulai dari awal pendirian hingga sekarang dengan rincian  pada 2014 defisit mencapai Rp 9 triliun dan disuntik pemerintah Rp 5 triliun, 2016 defisit turun menjadi Rp 6 triliun dan disuntik pemerintah Rp 6 triliun. Namun, pada 2017 meningkat jadi Rp 13,5 triliun dan 2018 naik lagi menjadi Rp 19 triliun dan pada 2019 BPSJ mengestimasi defisit capai Rp 32 triliun padahal pemerintah sudah menyuntik dana hingga Rp. 13,5 triliun untuk membantu menutupi potensi Rp. 32 triliun, tetapi masih ada potensi gagal Rp. 15,5 triliun. Sehingga pada akhirnya pemerintah menaikan iuran BPJS per 1 januari 2020 dengan harapan kenaikan iuran ini mampu menurunkan defisit yang terjadi setiap tahun.
           Kebijakan menaikan iuran BPJS Kesehatan tentu bukan tanpa perhitungan dan tujuan, tapi di masyarakat ketika iuran di naikan masih banyak timbul pertanyaan. Gejolak di ruang sidang DPR RI terjadi karena ada anggota dewan yang meminta agar kenaikan ini dibatalkan. Maka Menkeu mengancam, suntikan dana sebesar Rp.13,5 triliun akan di tarik kembali, sehingga perkiraan defisit yang telah dibicarakan sekitar Rp. 32 triliun pun akan terjadi,  karena meskipun sudah di kasih suntikan dana sebesar Rp. 13,5 T, BPJS Kesehatan masih berpotensi defisit Rp. 15,5 T. Berita ini berdasarkan yang di post melalui artikel CNBC Indonesia pada 18 Februari 2020 dengan judul Sri Mulyani Ancam Tarik Kembali Suntikan Rp 13,5 T ke BPJS melalui laman https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218160947-4-138753/sri-mulyani-ancam-tarik-kembali-suntikan-rp-135-t-ke-bpjs.

            Dengan adanya kenaikan iuran ini, masyarakat pun ikut bergejolak dengan berbondong-bondong turun kelas perawatan, menurut artikel CNN Indonesia pada 06 Januari 2020 pukul 17.32 WIB menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan mencatat sebanyak 372.924 peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memilih turun kelas akibat kebijakan pemerintah menaikkan iuran dalam kurun waktu November – Desember 2019 dan kemungkinan akan terus bertambah. Peserta yang dimaksud adalah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) alias mandiri. Penurunan kelas ini karena di sesuaikan dengan kemampuan membayar dan diharapkan dengan penurunan ini masyarakat mampu membayar secara utin. Jumlah peserta yang turun kelas, terdiri dari kelas mandiri I sebanyak 153.466 orang atau 3,53 persen dari total peserta di kelasnya. Lalu, kelas mandiri II yang turun kelas mencapai 219.458 atau 3,23 persen dari total peserta di kelasnya. Adapun kelas mandiri I ada yg turun kelas ke II dan III, tapi tidak dijelaskan secara detail. Artikel ini di muat melalui laman https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200106154526-78-462821/lebih-dari-372-ribu-peserta-bpjs-kesehatan-turun-kelas. Bahkan dalam artikel lain yang di unggah pada 13 Januari 2020 Kepala Humas BPJS Kesehatan menyebutkan yang turun kelas mencapai 800.000 orang melalui laman https://www.ayobandung.com/read/2020/01/13/76280/iuran-bpjs-kesehatan-naik-sekitar-800-ribu-orang-turun-kelas.
            Melihat kultur sosial masyarakat di Indonesia, secara umum masyarakat indonesia masih kurang sadar akan pentingnya kesehatan, sebab tidak sedikit partisipasi masyarakat yang merasa keterpaksaan mengikuti program JKN BPJS Kesehatan karena bersifat wajib. Hal lain, masyarakat menganggap sangat disayangkan kalau harus membayar iuran tanpa menikmati fasilitas kesehatan, lebih parahnya masyarakat ber bangga ketika lebih sering menggunakan fasiltas kesehatan. Selain itu banyak peserta yang bayar iuran ketika akan menggunakan jasa layanan dan masih banyak masyarakat belum jadi peserta BPJS.
            Padahal jika di tinjau dari program, BPJS Kesehatan memiliki cita-cita yang mulia untuk senantiasa meningkatkan kualitas kesehatan melalui pelayanan serta jaminan kesehatan kepada masyarakat Indonesia, apalagi BPJS Kesehatan mengedepankan prinsip gotong royong, hal ini memberikan kesempatan untuk masyarakat agar saling tolong menolong bukan hanya dengan skala lokal tapi nasional. Program BPJS Kesehatan di atur oleh UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggra Jaminan Sosial, hal ini merupakan turunan dari UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial pasal 5 ayat (1) bahwa harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kemudian di jabarkan melalui Peraturan Presiden.
Sedangkan jika ditinjau dari bagaimana pengelolaan BPJS Kesehatan, Menkeu telah menerima laporan dari hasil audit Badan Pengawasan Keuanan dan Pembangunan (BPKP) tentang masalah Dana Jaminan Sosial (DJS) yaitu pertama, struktur iuran masih underpriced (di bawah perhitungan aktuaria). Kedua, banyak Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) baik mandiri/informal yang mendaftar saat sakit dan setelah mendapat layanan kesehatan berhenti membayar iuran kepesertaan. Ketiga, tingkat keaktifan peserta PBPU cukup rendah, hanya sekitar 54%, sementara tingkat utilisasinya sangat tinggi. Keempat, beban pembiayaan penyakit katastropik yang sangat besar (lebih dari 20% dari total biaya manfaat).  Sehingga Menkeu memberikan rekomendasi terhadap BPJS Kesehatan, agar melakukan upgrading yang meliputi aspek kepesertaan dan penerima iuran, biaya manfaat jaminan kesehatan, dan strategic purchasing, selan itu juga harus memperbaiki dari segi pelayanan, sistem rujukan, memperbaiki sistem pembayaran dan pemanfaatan dana kapitasi. BPJS juga harus dapat bersinergi antar penyelenggara jaminan sosial serta mampu mengimplementasi urun biaya (cost sharing/co-payment) dan selisih bayar. Terakhir, BPJS juga harus mampu melakukan pengendalian biaya operasional. Pernyataan ini di kutip dari sebuah artikel yang di post oleh Kemekeu.go.id pada 21 Agustus 2019 pukul 16:36 melalui web https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/ini-daftar-perbaikan-pengelolaan-untuk-bpjs-yang-lebih-baik/
            Selain itu terungkap juga tunggakan klaim Rumah Sakit ke BPJS Kesehatan mencapai Rp. 51,61 triliun, sedangkan penerimaan iuran BPJS Kesehatan hanya Rp. 44,5 triliun di Tahun 2019. Sehingga  rasio klaim BPJS mencapai 115,98% sedangkan dalam jumlah peserta, kinerja BPJS Kesehatan belum mencapai target karena baru 83%. Hal ini di post dalam artikel CNN Indonesia pada 6 Januari 2020 pukul 15.52 WIB melalui link https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200106150150-78-462811/utang-jatuh-tempo-bpjs-kesehatan-ke-rs-rp14-triliun
            Kesimpulan dari pembahasan di atas, untuk menyelesaikan defisit program BPJS Kesehatan perlu dukungan penuh dari berbagai lapiran, baik itu penyelenggara ataupun masyarakat. Karena ketika program yang dibentuk sudah bagus, cita-cita mulia untuk mensejahterakan masyarakat dalam hal peningkatan pelayanan dari segi kesehatan, menejemen sudah bagus tetapi jika masyarakat masih mempunnyai paradigma atau respon tidak baik, program BPJS Kesehatan akan sulit untuk lebih baik. Sehingga pemerintah berupaya agar partisipasi masyarakat meningkat dengan cara mengeluarkan sanksi kepada masayarakat yang nunggak iuran yaitu berupa tidak diberikan pelayanan publik. Meski begitu, pembayaran dan ke ikutsertaan masyarakat terhadap program ini mungkin juga di latar belakangi karena faktor ekonomi serta pendidikan, bahkan prioritas penggunaan ekonomi dalam menjalani kehidupan.

Tulisan ini dibuat pada tanggal 25 Februari 2020 !

No comments:

Post a Comment